Peringatan Keras: Artikel ini ditulis saat Penulis berada dalam keadaan emosional yang dipicu oleh komentar-komentar netizen idiot negara +62 yang bersentimen rasis. Penulis adalah penentang keras patriarkisme dan rasisme. Maka dari itu diharapkan pemakluman dari pembaca. Semoga dapat dimengerti.
Beberapa waktu ini, relung maya Indonesia dihebohkan oleh cuplikan video Sidang Umum PBB yang menampilkan pernyataan Perdana Menteri (PM) Republik Vanuatu Bob Loughman tentang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Papua. Yang membuat video ini menjadi menarik adalah jawaban diplomat yang mewakili Indonesia dalam sidang tersebut.
Indonesia yang diwakili oleh Silvany Austin Pasaribu mengungkapkan kemarahannya terhadap Vanuatu yang seakan berfantasi mewakili orang Papua. Dalam argumennya Silvany pun mengatakan agar Vanuatu berhenti mencampuri kedaulatan negara lain seperti yang tertuang dalam Piagam PBB.
Komentar pedas diplomat Indonesia saat menanggapi pernyataan PM Vanuatu tak urung memunculkan kemarahan banyak warga Indonesia yang berujung pada penghinaan. Ada judul berita online menyebut Vanuatu sebagai sebuah negara kecil yang sedang mencoba pansos (panjat sosial) di forum internasional. Yang paling panas tentunya adalah komentar warganet Indonesia yang mengecam komentar Bob Loughman tersebut.
Komentar Netizen yang Terlalu Biadab
Netizen Indonesia beramai-ramai menyerang akun Instagram pariwisata Vanuatu @vanuatuislands dengan caci-maki yang sungguh biadab karena dipenuhi dengan penghinaan terhadap bentuk tubuh, warna kulit, dan rasisme. Bahkan foto anak-anak Vanuatu tak lewat menjadi sasaran penghinaan warganet.
Sejumlah komentar menyatakan Vanuatu adalah negara kecil miskin yang primitif. Ada lagi komentar yang mengatakan anak-anak Vanuatu kekurangan gizi. Yang terparah adalah penyebutan warna kulit warga Vanuatu hitam seperti tahi (kotoran pup). Akibat umpatan-umpatan tak bermartabat ini, admin akun tersebut menon-aktifkan kolom komentar.
Tanggapan Diplomat Silvany terhadap pernyataan PM Vanuatu ‘disepakati’ oleh banyak orang Indonesia dengan mewujudkannya dalam bentuk kemarahan, terutama di jagad maya. Rasa marah ini memunculkan opini bersama yang disikapi dalam bentuk aktivitas agresif di media sosial lewat vandalisme verbal.
Komentar marah yang ditujukan para netizen Indonesia ini merupakan bentuk ekspresi kelompok. Irving Janis dalam Groupthink Theory mengungkapkan, satu atau beberapa faktor dapat memicu kohesivitas sehingga membentuk sebuah ikatan kelompok yang memiliki ketertarikan yang sama (mutual interest). Pada akhirnya setiap anggota akan berkontribusi maksimal untuk mencapai tujuan kelompok. Semakin tinggi tingkat kohesitivasnya, semakin tinggi pula ikatan yang dirasakan oleh para anggotanya untuk tetap menjaga kepaduan kelompok tersebut.
Dalam hal ini, tanggapan pedas Diplomat Silvany adalah faktor yang memicu kohesivitas kelompok dunia maya (warganet). Mutual interest-nya adalah rasa marah karena adanya negara lain yang berusaha mengganggu kedaulatan Indonesia. Tujuan kelompoknya adalah vandalisme di akun Instagram @vanuatuislands lewat kata-kata bullying, body shaming dan rasis.
Ekspresi-ekspresi agresif yang dilakukan netizen Indonesia tersebut tak lain adalah agar mereka merasa menjadi bagian dari kelompok yang marah terhadap sikap Vanuatu. Perasaan agar dapat menjadi bagian dari sesuatu yang sedang happening pada saat itu akan memberikan prestise, peningkatan harga diri, dan syukur-syukur menambah pertemanan dari akun media sosial lain yang memiliki pandangan dan sikap yang sama.
Sayangnya komentar-komentar marah tersebut hanya merupakan upaya semu untuk menarik perhatian akun netizen lain di dunia maya agar terlihat lebih menonjol dan atraktif di tengah kesesakan komentar yang ada. Yes, you’re right! Komentar-komentar tersadis dan terkontroversial hanya merupakan usaha untuk pansos.
Menarik perhatian dengan cara bullying mungkin bisa meraih popularitas di jagad media sosial. Tapi pada akhirnya dapat membuat netizen mati rasa dan tak memiliki empati. Jaron Lanier dalam bukunya Ten Arguements for Deleting Your Social Media Accounts Right Now mengungkapkan, pada akhirnya warganet yang sudah mati rasa dan tak memiliki empati hanyalah seorang bajingan media sosial.
Teguran Internasional Seharusnya Menjadi Introspeksi
Ketika hendak merumuskan posisi negara dalam dunia internasional, Mohammad Hatta menggariskan kebijakan politik luar negeri yang bebas-aktif. Bebas berarti tidak berpihak pada kelompok/blok manapun, dan aktif berarti ikut berpartisipasi penuh dalam menjaga perdamaian dunia. Prinsip ini menjadi pilar dalam perumusan kebijakan politik luar negeri Indonesia sampai saat ini. Sikap ini salah satunya ditunjukkan Indonesia dalam mengecam kependudukan Zionis terhadap kedaulatan warga Palestina.
Dukungan Indonesia terhadap Palestina tak terlepas dari sentimen persahabatan yang dibangun antara Indonesia dan Palestina. Awal mula Indonesia merdeka, Palestina adalah salah satu dari yang paling awal mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Bahkan pengusaha kaya Palestina pada masa itu, Muhammad Ali Taher, menyumbangkan harta kekayaan miliknya untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Maka Indonesia selalu yang menjadi paling getol dalam mengupayakan kemerdekaan Palestina, bahkan sampai tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel sebagai salah satu bentuk mendukung Palestina.
Jika sentimen persahabatan dapat menjadi landasan bagi Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina, Vanuatu pun memiliki sejumlah sentimen terhadap orang Papua yang membuat negara tersebut berhak untuk menyampaikan keprihatinannya di forum internasional terkait pelanggaran HAM di Papua.
Pertama, secara geografis Papua berada cukup dekat dengan kawasan negara-negara Pasifik. Sebagai salah satu upaya untuk menjaga perdamaian di kawasan, sejumlah pemimpin negara-negara Pasifik (yang diwakilkan oleh pernyataan PM Bob Loughman) mengingatkan Indonesia agar menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang kerap terjadi di Papua.
Sentimen kedua adalah hubungan kekerabatan. Masyarakat Papua adalah keturunan Ras Melanesia yang merupakan ras yang sama yang mendominasi masyarakat di negara kawasan Pasifik. Sehingga bukan tak mungkin persamaan ras ini juga memunculkan kedekatan untuk membela hak-hak warga Papua yang dinilai telah dilanggar meski secara kedaulatan Papua adalah bagian dari NKRI.
Terlepas dari semua sentimen tersebut, ada baiknya Indonesia tidak mengabaikan pandangan dunia internasional mengenai persoalan Papua, walau pandangan tersebut berasal dari negara kepulauan kecil di tengah Samudera Pasifik. Sebaliknya, Indonesia harus bisa menunjukkan fakta dan realitas yang telah dilakukan dalam membela dan melindungi hak sipil warga negaranya, termasuk di Papua.
So, netizens. Don’t be such an asshole in your social media! Jangan jadi bajingan media sosial yang berkomentar marah-marah dan menghina tapi tak melihat persoalan secara utuh dari beragam sudut pandang. Iqra’, Netijen! Mungkin kalian belum tahu apa yang terjadi di Papua sehingga PM Vanuatu akhirnya berkomentar seperti itu.
Maka cari tahu dulu, baru berkomentar!