Citayam Fashion Week tengah menjadi fenomena viral yang diperbincangkan di media sosial. Disinyalir sekumpulan remaja tanggung dari Citayam, Bojonggede, dan sekitarnya ramai-ramai berkumpul dan memenuhi kawasan Sudirman dan Taman Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta.
Karena kawasan ini dipenuhi oleh kelompok remaja tersebut, SCBD pun diplesetkan menjadi singkatan dari Sudirman Citayam Bojonggede Depok. Viralnya kumpulan remaja ini pada akhirnya tidak hanya diikuti oleh mereka yang tinggal di wilayah Citayam. Sejumlah remaja asal kota penyangga Jakarta seperti Bekasi pun ikut meramaikan aksi ini.
Fenomena ini menjadi perbincangan hangat di media sosial lantaran netizen mengomentari penampilan remaja-remaja ini. Cara berpakaian mereka yang tak biasa dan di luar tren fesyen mainstream dinilai seperti cara untuk mereplika tampilan Harajuku Style di Jepang.
Nyatanya penampilan mereka tidak mendapatkan respon komentar positif. Perbincangan di media sosial didominasi oleh komentar-komentar pedas yang menganggap kehadiran remaja Citayam ini justru merusak pemandangan kawasan Sudirman dengan tampilan yang dekil, kumal, berbau matahari, dan outfit murahan. Sebagai kawasan jalan protokoler, Sudirman selama ini dikenal sebagai kawasan elit dan prestisius di ibukota, sehingga kehadiran para remaja Citayam ini dianggap tidak pantas di kawasan elit tersebut.
Perang Kelas Sosial di Ranah Digital
Narasi yang dibangun dan ditampilkan di dunia maya merupakan bentuk perang opini yang merepresentasikan dua kubu: para remaja Citayam dan sekitarnya sebagai kelompok proletar yang dimarjinalkan, sedang para warganet yang merundung dan berkomentar pedas merupakan kelompok borjuis yang tengah menggalang dan mempengaruhi opini publik di ruang digital untuk menekan aksi Citayam Fashion Week.
Teori Konflik yang digagas oleh Karl Marx meyebutkan, para elit borjuis berupaya menyebarkan pengaruh mereka untuk membangun kesadaran publik tentang adanya ketidaksetaraan. Dalam hal ini, para ‘elit’ media sosial membangun kesadaran kolektif Netizen +62 lainnya mengenai adanya ketimpangan dari penampilan para remaja Citayam yang tidak sesuai untuk kawasan Sudirman. Bahwasanya kawasan Sudirman hanyalah tempat yang diperuntukkan bagi kalangan ‘the have‘ yang memiliki akses kepemilikan terhadap barang mewah (luxury goods), dan bukannya para remaja Citayam yang mengenakan outfit dengan harga murah.
Adanya anggapan tentang remaja Citayam tidak pantas untuk berada di kawasan Sudirman membangun obrolan di media sosial yang menampilkan citra mereka sebagai kelompok yang jelek. Komentar seperti “jarang mandi”, “minimal mandi dulu”, “jangan lupa mandi” adalah satu dari sekian banyak pernyataan sinis yang ingin membangun citra para remaja Citayam sebagai kelompok tidak bersih yang memang mengotori kawasan bermartabat di ibukota.
Pelanggaran Terhadap Ruang Publik
Sebagai ruang terbuka, Sudirman merupakan kawasan yang memang harus memiliki akses publik dari beragam kalangan. Ruang terbuka tidak hanya berfungsi sebagai sarana rekreasi atau tempat berkumpul, namun dapat memiliki nilai politis ketika ruang tersebut menjadi medium publik dalam berekspresi.
Ruang publik di Sudirman memiliki nilai politik dalam hal membebaskan warga untuk berkumpul, berkreasi, menampilkan ide, berkomunikasi, menunjukkan sudut pandang yang berbeda, bahkan kebebasan untuk memperdebatkannya (Habermas, 1992; Odugbemi, 2008). Kebebasan ini merupakan bentuk perlindungan terhadap kemerdekaan warga sipil.
Sayangnya yang terjadi dalam “parade” Citayam Fashion Week, kerap terlihat aparat kepolisian yang berpatroli di kawasan Sudirman yang bersiap membubarkan mereka apabila para remaja tersebut masih berkumpul lewat jam 10 malam dengan dalih menjaga ketertiban dan keamanan di kawasan jalan protokol. Padahal keramaian juga terjadi di berbagai fasilitas umum lainnya pusat perbelanjaan/mall.
Keterlibatan aparat kepolisian merupakan bentuk opresi yang semakin memperuncing perbedaan kelas sosial. Bahwasanya aparat kepolisian hanya berpihak pada para elit ‘the have‘ yang dinilai pantas berada di kawasan Sudirman, sementara para remaja Citayam tak lebih dari gerombolan perusuh yang merusak ketertiban dan keamanan.
Pengawasan yang dilakukan oleh polisi adalah bentuk pelanggaran warga sipil yang menghalangi publik untuk mengakses ruang publik. Sebagai bagian dari institusi formal pemerintahan, kehadiran polisi di Sudirman merupakan representasi dari ketidakberpihakan pemerintah terhadap kelompok yang dimarjinalkan.
Citayam Fashion Week: Gerakan Anti-Kemapanan
Fenomena sosial Citayam Fashion Week telah memberikan sedikit cuplikan dari masih langgeng dan runcingnya perbedaan kelas sosial. Dengan adanya media sosial, para ‘elit’ mempengaruhi definisi kepatutan dan standar yang diakui dalam ruang publik. Para remaja Citayam merupakan kelompok minoritas yang pantas dikucilkan dalam narasi elit, sehingga tak boleh mendapat ruang berekspresi dan layak dibenci (Eriyanto, 2001).
Bisa jadi hal yang mendasari hype-nya Citayam Fashion Week tak lebih dari sekedar kegiatan kumpul-kumpul para remaja yang tengah merayakan libur sekolah. Mungkin tak ada motivasi politik atau gerakan sipil yang mendasari pertunjukan outfit para remaja Citayam di kawasan Sudirman. Pemandangan ini mungkin akan berkurang, atau bahkan menghilang, setelah tahun ajaran baru sekolah dimulai.
Namun apa yang telah dilakukan oleh para remaja Citayam ini telah berbentuk menjadi sebuah pernyataan politik untuk melawan narasi kemapanan dan standar ‘kelayakan’ masyarakat yang disampaikan lewat fashion. Mungkin apabila para remaja ini cukup sadar dengan gerakan sipil, Citayam Fashion Week dapat berkembang sebagai sebuah ideologi seperti Punk yang menganut paham kebebasan individual dan anti-kemapanan. Media sosial dapat menjadi amplifier untuk mengumandangkan ideologi tersebut. Semoga.
Sumber foto: CNN