Konflik kemanusiaan yang terjadi di Palestina tampaknya tidak mendapatkan dukungan penuh secara diplomasi dari banyak pemegang kekuasaan politik internasional, seperti Uni Eropa. Bukan hanya itu, kini para pejuang dan aktivis kemanusiaan di Palestina pun harus mengalami penyensoran, penghapusan konten, hingga pembekuan akun media sosial yang justru dilakukan oleh pihak penyedia platform media sosial Facebook, Instagram, dan Twitter.
Apa yang dialami oleh para kreator konten saat menyuarakan kondisi di Palestina merupakan praktik dari Digital Apartheid, suatu situasi yang mengacu pada pengucilan sekelompok komunitas tertentu dalam hal mengakses dan memperoleh pengalaman digital yang disebabkan akibat kuasa politik dan kepentingan bisnis tertentu (Colin Powell, Is Digital Divide A Problem or An Opportunity?, Businessweek December 2000).
Perlakuan tidak adil ini telah lama dialami oleh masyarakat Palestina sejak masa-masa awal okupansi Zionis Israel. Pemberitaan dari media tradisional Barat selalu bias dan tidak pernah mengedepankan aspek kekejaman kemanusiaan yang diderita oleh warga Palestina. Kondisi ini makin diperburuk dengan dibungkamnya suara-suara dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina di jagad maya, setidaknya sejak 2016. Padahal platform media sosial telah menjadi salah satu medium terkuat yang menyuarakan gerakan sipil di kawasan Timur Tengah, dimulai dari Revolusi Facebook saat protes pemilu Presiden Iran 2009, dan Revolusi Twitter yang memicu gerakan Arab Spring di Tunisia dan negara Arab lainnya sejak Desember 2010 (Farhan, 2018).
Tentunya gelombang protes bermunculan dari banyak netizen global tentang ketidakadilan yang diterapkan Instagram, Facebook, dan Twitter. Selama ini internet dan platform media sosial telah dianggap sebagai amplifier yang memberikan kekuatan penuh dalam menyuarakan hal-hal yang tak dapat disuarakan di ruang publik dan redaksional media tradisional. Namun mengapa justru sekarang penyedia media sosial yang melakukan pembungkaman?
Media Sosial Pun Sama Seperti Media Tradisional
Dalam sekilas pandang, media sosial tampak memberikan ruang kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat tanpa adanya hirarki, keterbatasan waktu, dan akses yang unlimited. Namun perlu diingat, pengembang layanan media sosial merupakan sebuah entitas bisnis yang juga memiliki orientasi terhadap kepentingan dan afiliasi tertentu pula.
Sama seperti halnya media mainstream (koran, radio, dan televisi) yang memiliki kebijakan editorial khusus dalam menampilkan berita dan mengakomodasi opini publik, media sosial pun memiliki ‘kebijakan editorial’ tersendiri dalam hal perizinan konten yang boleh ditampilkan di platform mereka.
Hak-hak konstitusional tentang kebebasan berpendapat yang tercantum dalam berbagai konstitusi negara seperti UUD 1945 (Indonesia), Declaration of Independence (Amerika Serikat), hingga Universal Declaration of Human Rights yang diakui secara internasional hanya menegaskan bahwa pembatasan berekspresi, berpendapat, ataupun penyensoran tidak boleh dilakukan oleh negara/pemerintah. Sayangnya, dalam hal ini media sosial merupakan private company sehingga penyensoran yang dilakukan oleh penyedia layanan aplikasi ini tidak termaktub dalam konstitusi.
Dengan demikian, dapatlah disimpulkan jika Facebook, Instagram, ataupun Twitter memiliki hak untuk menghapus konten dan bahkan membekukan akun tertentu jika pihak mereka merasa bahwa konten dan akun tersebut telah menyalahi aturan yang telah mereka terapkan. Sekali lagi perlu diingat, sama seperti halnya media tradisional yang juga sarat dengan kepentingan, entitas bisnis yang dijalankan oleh pengembang media sosial juga tak akan lepas dari kepentingan golongan, politik, ekonomi, dan budaya tertentu.
Namun Seharusnya Media Sosial Tak Boleh Menyensor
Meskipun media sosial memiliki hak melakukan penyensoran karena statusnya yang merupakan entitas komersil dan tidak diakomodir dalam konstitusi negara, tetap saja media sosial dianggap tak patut untuk melakukan penyensoran, apalagi jika menyangkut kepentingan dalam menyuarakan kelompok minoritas dan tertindas.
Penulis The Social Media Bible Lon Safko mengungkapkan, penyensoran dalam format dan dilakukan oleh siapapun di ruang digital merupakan tindakan kriminal yang tidak bisa ditolerir. Sebab media sosial merupakan medium open communication yang memiliki kewajiban moral dan legal untuk mengakomodasi segala jenis percakapan apapun bentuk dan isinya.
Menurut Safko, premis dasar internet adalah “if you don’t like, don’t look“. Jika ada pihak yang merasa tidak setuju, tersinggung, marah, dan benci sekalipun terhadap konten yang muncul di internet, pihak tersebut dipersilakan untuk mematikan layar gawai mereka atau mencari konten lain yang mereka suka. Sehingga penyensoran konten dan penghilangan akun media sosial merupakan pengkhianatan terhadap kebebasan konstitusional warga negara dalam berpendapat.
Terkait dengan konflik kemanusiaan yang terjadi di Palestina, tak dapat dipungkiri jika pastinya banyak konten-konten yang dipertunjukkan di media sosial bersifat meresahkan. Sebab dalam kondisi peperangan, tentunya tak terelakkan jika audiens melihat banyak gelimpangan korban yang berdarah, reruntuhan akibat pengeboman, adegan kekerasan yang dilakukan oleh aparat, dan beragam konten tidak nyaman lainnya yang muncul di laman media sosial mereka. Ini menjadi alasan bagi para pengembang media sosial untuk melakukan penyensoran meskipun konteks yang sebenarnya ingin ditunjukkan adalah tentang ketidakadilan bagi warga Palestina.
Mungkin dalam kesempatan berikutnya, kreator konten harus bisa lebih kreatif dalam menampilkan konten (terutama yang berkaitan dengan audio-visual) agar terasa tak mengganggu. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan membuat meme, karikatur, komik, gambar dalam bentuk surrealis, hingga kreasi lainnya.
Mitos Tentang Media Sosial
Sampai saat ini, media sosial dianggap sebagai medium terkuat dalam penyampaian informasi sekaligus menginisiasi gerakan sipil. Namun aktivitas yang terjadi di ruang digital bukan merupakan satu-satunya corong untuk bersuara di ruang publik. Media sosial hanya satu dari sekian banyak opsi untuk menguatkan isu, tapi tidak harus menjadi yang utama. Pemberitaan dan penyebaran informasi yang dilakukan oleh media mainstream, khususnya jaringan broadcast televisi turut lebih banyak membantu dalam penyebaran informasi.
Untuk memberikan tekanan terhadap kebejatan kemanusiaan yang dilakukan Israel terhadap Palestina, American Friends Service Committee (AFSC) telah mencanangkan tiga hal yang bisa dilakukan warga global untuk mendukung kemerdekaan Palestina, yakni Boycott, Divestment, Sanction (BDS) yang sudah dicanangkan sejak 2017 silam. Tiga hal ini memberikan tekanan pada Israel secara finansial, sehingga dengan demikian diharapkan dapat menghapuskan agresi Israel. Dukungan lain yang dapat diberikan untuk membantu Palestina adalah juga dengan memberikan donasi untuk menolong banyak korban perang.
Intinya, banyak hal lain yang terpikir sebelumnya oleh kita untuk menolong perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina. Tak ada cara yang lebih baik untuk membantu perjuangan mereka selain lewat aksi nyata dari kita: BDS, berdonasi, menjadi relawan, bahkan berdoa sekalipun.
saya hanya bisa berdoa moga para korban kejahatan perang dapat masuk sorga amiin.
dan yang melukan serangan mendapat hukum dari Yang maha Adil
SukaSuka