Salam Dari Binjai!
Kalimat itu mendadak viral ketika akun TikTok Paris Pernandez menunjukkan aksinya meninju batang pohon pisang hingga roboh. Paris diketahui sebagai mantan atlit tinju nasional sehingga terlihat begitu kuat ketika meninju batang pohon pisang sampai jatuh. Sebelum dan sesudah aksi, Paris selalu mengucapkan kalimat Salam Dari Binjai sehingga akhirnya kalimat itu menjadi populer.
Aksi tersebut tak hanya menghebohkan jagat maya nasional, melainkan menimbulkan perhatian netizen internasional lainnya. Berkat video tersebut, Wali Kota Binjai Amir Hamzah merasa bangga dan mengapresiasi video Paris yang telah membuat Kota Binjai terkenal di seluruh dunia.
Sayangnya peredaran video ini menghasilkan dampak negatif bagi audiens anak-anak. Setelah menonton video tersebut, di beberapa daerah seperti Salatiga dan Lamongan melaporkan tumbangnya pohon pisang di perkebunan warga akibat ditinju oleh anak-anak. Saat ditanyakan mengapa mereka merusak pohon pisang tersebut, anak-anak itu menjawab jika mereka terinspirasi dari video Paris Pernandez dan mencoba berlatih tinju menggunakan batang pohon pisang.
Pihak perangkat desa dan sejumlah elemen masyarakat lain yang memediasi persoalan tersebut akhirnya mengembalikan “pembinaan” anak-anak kepada orang tua masing-masing. Orang tua diminta untuk menasehati dan mengawasi perbuatan anak mereka agar tidak sampai menyebabkan kerusakan yang merugikan orang lain.
TikTok Sebagai Platform Toksik Bagi Anak-Anak
Sejak pandemi Covid-19 menghantam dunia pada 2020 lalu, TikTok meraih eksistensinya sebagai salah satu platform yang paling sering digunakan sebagai media hiburan selama penerapan karantina (We Are Social, 2021).
Namun TikTok sebenarnya telah lebih dulu meraih popularitas di kalangan Gen. Z karena keunikannya dalam membuat konten yang lebih seru dan tak membosankan seperti Instagram dan Snapchat (yang lebih sering diakses oleh Millenials). Itu sebabnya pengguna TikTok kebanyakan adalah anak-anak, walaupun aturan resmi TikTok memperbolehkan usia minimal 16 tahun sebagai penggunanya.
Kini ketika lebih banyak kalangan yang menggunakan TikTok selain Gen. Z, konten TikTok pun menjadi lebih beragam. Pada akhirnya keberagaman konten ini pun memunculkan potensi yang berbahaya ketika disaksikan oleh audiens anak-anak di bawah umur. Di sepanjang pertengahan awal tahun 2020 saja, TikTok telah menghapus 104 juta konten yang mengandung pornografi, kekerasan, dan misinformasi.
Meninju batang pohon pisang seperti yang dilakukan Paris Pernandez memang bukan konten yang mengandung unsur kekerasan karena dibuat hanya untuk seru-seruan. Namun ketika hal itu memiliki konsekuensi berupa kerusakan di dunia nyata, tentunya konten itu menjadi konten yang tak pantas ditonton banyak orang, terutama anak-anak.
Ada baiknya para kreator konten memberi peringatan di awal seperti “tidak untuk dilakukan di rumah”, “harus di bawah pengawasan profesional”, “bukan konten untuk anak-anak” dan sebagainya sebagai tindak pencegahan bagi para audiens yang menonton, sehingga konten tersebut nantinya mengurangi resiko kerugian pada orang lain di dunia nyata.
Pengawasan Orang Tua Adalah Hal Absolut
Bukan hanya TikTok yang merupakan platform media sosial berbahaya bagi anak-anak. Media sosial lain seperti Facebook atau YouTube pun memiliki potensi yang sama berbahayanya apabila anak-anak mengakses konten-konten yang tak sesuai dengan umurnya.
Generasi yang lebih muda telah terlahir dengan membawa “gen” sebagai digital native. Artinya mereka begitu cepat beradaptasi menggunakan perangkat teknologi dan bisa mengaksesnya secara otodidak. Berbeda dengan generasi millenials yang merupakan generasi peralihan antara penggunaan teknologi analog ke digital, sehingga masih cukup banyak juga para millenials yang gagap dengan penggunaan teknologi, apalagi memiliki literasi digital yang mumpuni.
Dalam hal TikTok, pemblokiran situs/aplikasi sebenarnya tidak terlalu memberikan efek yang terlalu signifikan. Sebab selalu ada cara untuk bisa kembali mengakses situs/aplikasi yang telah diblokir, salah satunya dengan menggunakan aplikasi VPN (virtual private network).
Oleh sebab itu, pengawasan orang tua terhadap penggunaan gawai dan jadwal screen time mutlak dilakukan untuk menghindarkan anak dari konsumsi konten-konten yang mengandung pornografi, kekerasan, dan konten berbahaya lainnya. Salah satu cara pengawasan tersebut adalah dengan mendampingi anak pada saat mereka mengakses suatu konten digital.
Pendampingan merupakan cara terbaik, sebab orang tua bisa berinteraksi dengan anaknya dengan cara mengomentari, tertawa, bahkan menyisipkan beberapa nasihat pada sang anak. Selain itu tentunya dapat memperkuat bonding antara anak dan orang tua sebab melakukan aktivitas secara bersama-sama.
Cara lain yang harus diterapkan adalah dengan membatasi jenis konten yang bisa dan boleh diakses oleh anak. Beragam aplikasi telah menyediakan opsi parental control serta blocking untuk konten yang dianggap berbahaya atau tidak bermanfaat untuk anak.
Yang terpenting juga adalah, jangan biarkan anak memiliki gadget pribadi sebelum dia cukup dewasa untuk membedakan konten yang baik dan buruk. Ketika anak memiliki akses penuh terhadap konten, pengawasan orang tua hampir tidak ada. Tanpa sepengetahuan anak, mereka bisa saja berinteraksi dengan pengguna internet lain yang tak bertanggung jawab dengan meminta data pribadi atau bergaya seronok, sehingga informasi privat anak tersebar luas di dunia maya.
Orang tua pun harus memiliki pengetahuan tentang platform media sosial. Sekedar sharing, Penulis secara pribadi telah menjelaskan kepada anak bahwa TikTok merupakan medium yang tidak baik bagi anak, sehingga anak boleh menonton konten video hanya di aplikasi YouTube Kids. Jika ingin menonton film di Netflix, harus diperhatikan kategori umur yang tertera. Jika film yang ingin ditonton memiliki rating 7+, itu berarti tidak boleh menonton sendiri dan harus bersama mama dan papa.
Yes… Mengawasi, mengajarkan, dan memberikan pemahaman literasi media digital pada anak memang tidak gampang. Sebagai orang tua pun harus belajar banyak tentang literasi media digital agar tidak ikut terjebak dalam tren viral di media sosial yang bisa berdampak negatif bagi anak. Orang tua pun harus mengerem agar tidak sampai mengakses konten dewasa ketika anak-anak masih ada di dekatnya.
Mari semangat, Parents. Mari melek dengan media yang digunakan, terutama demi melindungi anak-anak.