Palestina Yang Dibungkam di Media Sosial

Konflik kemanusiaan yang terjadi di Palestina tampaknya tidak mendapatkan dukungan penuh secara diplomasi dari banyak pemegang kekuasaan politik internasional, seperti Uni Eropa. Bukan hanya itu, kini para pejuang dan aktivis kemanusiaan di Palestina pun harus mengalami penyensoran, penghapusan konten, hingga pembekuan akun media sosial yang justru dilakukan oleh pihak penyedia platform media sosial Facebook, Instagram, dan Twitter.

Apa yang dialami oleh para kreator konten saat menyuarakan kondisi di Palestina merupakan praktik dari Digital Apartheid, suatu situasi yang mengacu pada pengucilan sekelompok komunitas tertentu dalam hal mengakses dan memperoleh pengalaman digital yang disebabkan akibat kuasa politik dan kepentingan bisnis tertentu (Colin Powell, Is Digital Divide A Problem or An Opportunity?, Businessweek December 2000).

Perlakuan tidak adil ini telah lama dialami oleh masyarakat Palestina sejak masa-masa awal okupansi Zionis Israel. Pemberitaan dari media tradisional Barat selalu bias dan tidak pernah mengedepankan aspek kekejaman kemanusiaan yang diderita oleh warga Palestina. Kondisi ini makin diperburuk dengan dibungkamnya suara-suara dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina di jagad maya, setidaknya sejak 2016. Padahal platform media sosial telah menjadi salah satu medium terkuat yang menyuarakan gerakan sipil di kawasan Timur Tengah, dimulai dari Revolusi Facebook saat protes pemilu Presiden Iran 2009, dan Revolusi Twitter yang memicu gerakan Arab Spring di Tunisia dan negara Arab lainnya sejak Desember 2010 (Farhan, 2018).

Tentunya gelombang protes bermunculan dari banyak netizen global tentang ketidakadilan yang diterapkan Instagram, Facebook, dan Twitter. Selama ini internet dan platform media sosial telah dianggap sebagai amplifier yang memberikan kekuatan penuh dalam menyuarakan hal-hal yang tak dapat disuarakan di ruang publik dan redaksional media tradisional. Namun mengapa justru sekarang penyedia media sosial yang melakukan pembungkaman?

Media Sosial Pun Sama Seperti Media Tradisional

Dalam sekilas pandang, media sosial tampak memberikan ruang kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat tanpa adanya hirarki, keterbatasan waktu, dan akses yang unlimited. Namun perlu diingat, pengembang layanan media sosial merupakan sebuah entitas bisnis yang juga memiliki orientasi terhadap kepentingan dan afiliasi tertentu pula.

Sama seperti halnya media mainstream (koran, radio, dan televisi) yang memiliki kebijakan editorial khusus dalam menampilkan berita dan mengakomodasi opini publik, media sosial pun memiliki ‘kebijakan editorial’ tersendiri dalam hal perizinan konten yang boleh ditampilkan di platform mereka.

Hak-hak konstitusional tentang kebebasan berpendapat yang tercantum dalam berbagai konstitusi negara seperti UUD 1945 (Indonesia), Declaration of Independence (Amerika Serikat), hingga Universal Declaration of Human Rights yang diakui secara internasional hanya menegaskan bahwa pembatasan berekspresi, berpendapat, ataupun penyensoran tidak boleh dilakukan oleh negara/pemerintah. Sayangnya, dalam hal ini media sosial merupakan private company sehingga penyensoran yang dilakukan oleh penyedia layanan aplikasi ini tidak termaktub dalam konstitusi.

Dengan demikian, dapatlah disimpulkan jika Facebook, Instagram, ataupun Twitter memiliki hak untuk menghapus konten dan bahkan membekukan akun tertentu jika pihak mereka merasa bahwa konten dan akun tersebut telah menyalahi aturan yang telah mereka terapkan. Sekali lagi perlu diingat, sama seperti halnya media tradisional yang juga sarat dengan kepentingan, entitas bisnis yang dijalankan oleh pengembang media sosial juga tak akan lepas dari kepentingan golongan, politik, ekonomi, dan budaya tertentu.

Namun Seharusnya Media Sosial Tak Boleh Menyensor

Meskipun media sosial memiliki hak melakukan penyensoran karena statusnya yang merupakan entitas komersil dan tidak diakomodir dalam konstitusi negara, tetap saja media sosial dianggap tak patut untuk melakukan penyensoran, apalagi jika menyangkut kepentingan dalam menyuarakan kelompok minoritas dan tertindas.

Penulis The Social Media Bible Lon Safko mengungkapkan, penyensoran dalam format dan dilakukan oleh siapapun di ruang digital merupakan tindakan kriminal yang tidak bisa ditolerir. Sebab media sosial merupakan medium open communication yang memiliki kewajiban moral dan legal untuk mengakomodasi segala jenis percakapan apapun bentuk dan isinya.

Menurut Safko, premis dasar internet adalah “if you don’t like, don’t look“. Jika ada pihak yang merasa tidak setuju, tersinggung, marah, dan benci sekalipun terhadap konten yang muncul di internet, pihak tersebut dipersilakan untuk mematikan layar gawai mereka atau mencari konten lain yang mereka suka. Sehingga penyensoran konten dan penghilangan akun media sosial merupakan pengkhianatan terhadap kebebasan konstitusional warga negara dalam berpendapat.

Terkait dengan konflik kemanusiaan yang terjadi di Palestina, tak dapat dipungkiri jika pastinya banyak konten-konten yang dipertunjukkan di media sosial bersifat meresahkan. Sebab dalam kondisi peperangan, tentunya tak terelakkan jika audiens melihat banyak gelimpangan korban yang berdarah, reruntuhan akibat pengeboman, adegan kekerasan yang dilakukan oleh aparat, dan beragam konten tidak nyaman lainnya yang muncul di laman media sosial mereka. Ini menjadi alasan bagi para pengembang media sosial untuk melakukan penyensoran meskipun konteks yang sebenarnya ingin ditunjukkan adalah tentang ketidakadilan bagi warga Palestina.

Mungkin dalam kesempatan berikutnya, kreator konten harus bisa lebih kreatif dalam menampilkan konten (terutama yang berkaitan dengan audio-visual) agar terasa tak mengganggu. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan membuat meme, karikatur, komik, gambar dalam bentuk surrealis, hingga kreasi lainnya.

Mitos Tentang Media Sosial

Sampai saat ini, media sosial dianggap sebagai medium terkuat dalam penyampaian informasi sekaligus menginisiasi gerakan sipil. Namun aktivitas yang terjadi di ruang digital bukan merupakan satu-satunya corong untuk bersuara di ruang publik. Media sosial hanya satu dari sekian banyak opsi untuk menguatkan isu, tapi tidak harus menjadi yang utama. Pemberitaan dan penyebaran informasi yang dilakukan oleh media mainstream, khususnya jaringan broadcast televisi turut lebih banyak membantu dalam penyebaran informasi.

Untuk memberikan tekanan terhadap kebejatan kemanusiaan yang dilakukan Israel terhadap Palestina, American Friends Service Committee (AFSC) telah mencanangkan tiga hal yang bisa dilakukan warga global untuk mendukung kemerdekaan Palestina, yakni Boycott, Divestment, Sanction (BDS) yang sudah dicanangkan sejak 2017 silam. Tiga hal ini memberikan tekanan pada Israel secara finansial, sehingga dengan demikian diharapkan dapat menghapuskan agresi Israel. Dukungan lain yang dapat diberikan untuk membantu Palestina adalah juga dengan memberikan donasi untuk menolong banyak korban perang.

Intinya, banyak hal lain yang terpikir sebelumnya oleh kita untuk menolong perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina. Tak ada cara yang lebih baik untuk membantu perjuangan mereka selain lewat aksi nyata dari kita: BDS, berdonasi, menjadi relawan, bahkan berdoa sekalipun.

Kisah Babi Ngepet di Era Web 3.0

Cerita babi ngepet tengah menjadi perbincangan hangat di media sosial pada minggu ini. Pasalnya seorang tokoh masyarakat di wilayah Sawangan, Depok mengungkapkan pada warga kampungnya jika telah terjadi praktik ilmu gaib yang menyebabkan dua orang kehilangan uang masing-masing sebesar Rp 1 juta.

Berita yang tersebar tentang motif tersangka berinisial AI itu jadi cukup membingungkan. Awalnya AI merekayasa cerita pencurian dan penangkapan babi ngepet tersebut adalah untuk menghilangkan kecemasan penduduk kampung yang mencari jawaban atas hilangnya uang warga. Namun ketika proses penangkapan babi direkam banyak warga, diunggah di media sosial lantas menjadi viral, polisi menangkap AI beserta teman-temannya dan menyatakan rekayasa AI bermotif panjat sosial (pansos) untuk memperoleh popularitas dengan cara menyebarkan hoax. AI pun terancam pidana 10 tahun.

Tak disangka efek pemberitaan tentang hoax babi ngepet di Depok ini berbuntut panjang pada seorang warga bernama Ibu Wati di Kampung Baru, Bojonggede, Bogor yang (mungkin) termakan kisah viral babi ngepet rekayasa AI. Ibu Wati menuduh tetangganya juga telah melakukan babi ngepet lantaran dianggap kaya tanpa bekerja. Karena dianggap mempermalukan nama kampung, Ibu Wati pun diusir oleh warga.

Kepercayaan Terhadap Babi Ngepet di Era Menjamurnya Online Shop

Babi ngepet memang bukan fenomena gaib yang asing bagi masyarakat Indonesia. Sejarawan Komunitas Historia Indonesia Asap Kambali mengungkapkan, praktik pesugihan babi ngepet telah ada pada masyarakat Jawa sejak tahun 1800an. Penjajahan Belanda pada masa itu menyebabkan banyak masyarakat yang sengsara dan kekurangan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akibatnya pesugihan babi ngepet pun menjadi salah satu alternatif dalam meraup kekayaan secara instan. Babi menjadi simbol kerakusan dan binatang haram bagi masyarakat Indonesia yang juga sudah mayoritas Muslim saat itu.

Meski telah akrab dengan kisah klenik tersebut, masih terbersit pertanyaan. Mengapa di zaman teknologi 3.0 yang ramai dengan online shop, freelancer, hingga work from home yang jamak dilakukan pada masa pandemi ini, masih muncul kepercayaan terhadap babi ngepet?

Bagi yang berjualan online, julidnya tetangga ternyata bukan hanya dituduh melakukan perkara gaib untuk mengumpulkan banyak uang. Sumber: Instagram @ridwankamil

Salah seorang teman mengirimkan tulisan yang memaparkan sudut pandang unik mengenai viralnya babi ngepet ini. Penjelasannya mengemukakan jika terjeratnya AI dalam rekayasa hoax babi ngepet ini adalah karena framing media yang langsung menjustifikasi AI sebagai penyebar berita bohong.

Menurutnya, AI hanya bermaksud menyebarkan cerita tersebut untuk kalangan di kampungnya. Kemudian ketika warga beramai-ramai memviralkan video tersebut di jagad maya, media mainstream ikut mengambil bagian pemberitaan dan membombardir cerita tersebut sebagai kebohongan ke seantreo Nusantara. Hingga akhirnya muncullah prasangka hukum jika AI patut dipidana sebagai penyebar fake news.

Sebab Masyarakat Indonesia Adalah Pencinta Cerita

Viralnya cerita babi ngepet ini tak bisa sepenuhnya merupakan kesalahan media massa yang ikut menyebarluaskan kisah ini menjadi viral. Bagaimana pun, media mengangkat kisah tersebut berdasarkan video yang telah ramai beredar di media sosial. Premisnya adalah, segala yang telah diunggah di internet akan menjadi milik publik meski AI mulanya hanya berniat menujukan kisah tersebut pada warga kampungnya.

Beberapa antropolog meyakini jika kepercayaan terhadap kisah supranatural dan astral berawal sejak evolusi bagian otak yang disebut neocortex yang merupakan hasil evolusi tercanggih terhadap manusia sejak 500 tahun silam. Bagian ini lah yang memunculkan kemampuan kognitif, berbahasa, dan kepercayaan seperti animisme-dinamisme hingga agama (Dunbar, 2014).

Dengan berkembangnya kemampuan berbahasa, manusia pun menjadi mahluk pencerita, apalagi bila narasi tersebut menarik perhatian, melibatkan emosi individual, dan memiliki keterkaitan dengan kehidupan pribadi. Kisah tersebut akan lebih dinantikan, didengar, dan dipercaya sebagai suatu hal yang nyata dibandingkan penyajian argumen-argumen logis (Walter Fisher, The Narrative Paradigm, 1987).

Perkembangan dan kemudahan penggunaan teknologi serta aplikasi digital semakin meningkatkan aktivitas berbahasa manusia pada saat ini. Hanya perlu cerita yang unik tanpa mementingkan benar atau salahnya, suatu berita berpotensi menjadi viral dan begitu mudah menyebar lewat medium apapun.

Viralnya babi ngepet di platform media digital juga tak terlepas dari tingginya minat dan hasrat audiens terhadap kisah klenik/horor. Hoffner dan Levine (2007) mengungkapkan, selalu ada pada diri orang-orang untuk menikmati ketakutan dan kekerasan yang disebarluaskan di media. Untuk semakin menakuti dan mencekam psikologi khalayak, konten klenik/horor kerap didramatisasi untuk menghadirkan sensasi.

Selepas munculnya rekaman babi ngepet ini, beragam komentar netizen yang sensasional pun tak terelakkan sehingga memunculkan ketertarikan media mainstream untuk turut mengangkat beritanya. Kisah babi ngepet di media digital setidaknya telah memenuhi unsur news value bagi media mainstream, yakni keunikan (uniqueness), magnitude, human interest, dan pada akhirnya konflik (conflict). Karenanya semakin menyebar dan populer lah AI dkk dengan cerita babi ngepet-nya.

Mudahnya Audiens Termakan dan Menyebar Hoax

Babi ngepet semakin mempertegas tentang minimnya literasi media digital masyarakat dalam membedakan informasi yang benar dan salah. Begitu gampangnya masyarakat masih mempercayai sesuatu hanya karena yang menyampaikan pendapat tersebut merupakan seorang tokoh yang disegani, tanpa ada keinginan untuk mempertanyakan sumber kebenaran informasi. Ibu Wati bisa jadi adalah contoh dari kalangan yang masih minim pengetahuan tentang perkembangan teknologi informasi sehingga dengan penuh percaya diri menuduh tetangganya melakukan praktik klenik.

Tidak ada cara lain selain mendesak pemerintah untuk menerapkan literasi media agar lebih banyak masyarakat yang tercerdaskan dalam penerapan dan penggunaan teknologi digital. Karena dengan semakin banyaknya seliweran informasi dan tingginya kebebasan audiens dalam memproduksi dan mendistribusikan konten, akan semakin bodoh lah masyarakat apabila tidak diberikan pengetahuan literasi yang memadai (Bauerlein, 2008).

Dan, sekali perlu ditekankan pada masyarakat agar selalu bijak dalam bermedia. Jangan begitu saja menyebarkan informasi yang belum tentu benar. Serta jangan pula begitu mudah percaya pada suatu hal hanya karena hal tersebut terasa cocok dengan nurani dan anchor/preferensi pribadi.

Ayo bersikap cerdas dan berwawasan dalam menggunakan media!

(Masih Tentang) Kebiadaban Netizen +62

Terlepas dari kepercayaan agama dan kebajikan moral dalam memandang hubungan percintaan sesama jenis (lesbian dan gay), menyerang hingga mengancam seseorang lewat media sosial lantaran perbedaan preferensi seksual seseorang adalah suatu tindakan kriminal yang tidak bisa ditolerir.

Adalah Suriya Koedsang, seorang pria Thailand, yang mengepos momen pernikahan sesama jenis di laman Facebook pribadinya. Postingan tersebut kemudian memunculkan kemarahan Netizen +62 dengan beramai-ramai menyerang laman Suriya Koedsang dengan cacian hingga ancaman pembunuhan. Koedsang lalu melaporkan penyerangan warganet Indonesia ini kepada Network of Campaigning for Justice, dan saat ini advokat lembaga tersebut mengupayakan agar warga negara Indonesia tidak ada satupun yang diizinkan datang ke Thailand sebagai akibat tindakan mereka yang kejam di media sosial.

Kejadian viral tersebut benar-benar mengukuhkan klaim survei Digital Civility Index yang dikeluarkan oleh Microsoft tentang betapa biadabnya perilaku netizen Indonesia di ruang maya. Jika perilaku seperti ini terus dipertahankan, mungkin dalam 2-3 tahun ke depan Indonesia dapat menduduki posisi puncak sebagai pengguna internet paling biadab di dunia.

Selain mempertunjukkan kebiadaban kelakuannya di dalam percakapan media sosial, perilaku warganet ini turut pula diikuti dengan kedunguan dan ketololan. Telah beberapa kali netizen Indonesia salah menyerang akun media sosial, seperti penyerangan terhadap akun Instagram @dprlive pada saat penolakan pengesahan UU Omnibus Law yang dikira sebagai akun milik Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal akun tersebut merupakan milik rapper Korea Selatan yang berarti Dream Perfect Regime.

Oh, Netizen… Sudah biadab, idiot pula! Main serang sembarangan tanpa mengecek dan memverifikasi sebelumnya.

Mengapa Netizen Indonesia Biadab?

Lingkungan digital Indonesia sangat tidak sehat sehingga mengakibatkan para pengguna saling menularkan perilaku toxic, seperti mengumbar komentar negatif berupa ujaran kebencian, penghinaan (bullying), hingga pelecehan (harassment).

Ada dua faktor utama yang menyebabkan netizen Indonesia seakan tak punya hati dalam berperilaku di media sosial.

Pertama, internet (terutama media sosial) memberikan semacam ‘ilusi’ yang menjadikan platform digital seolah-seolah sebagai perangkat untuk menyuarakan hal-hal yang tak berani diutarakan di dunia nyata (medium for the voiceless audiences). Dengan demikian, ilusi ini memberikan perasaan bahwa penggunanya bisa menyampaikan apa saja tanpa perlu takut adanya filter dari otoritas seperti editorial pers dan lembaga sensor di bawah pemerintah (Kalev Leetaru, 2018).

Sekilas peran media sosial sebagai medium for the voiceless tampak sangat baik karena mampu memberikan kesempatan pada kalangan terabaikan yang selama ini sangat takut untuk menyuarakan pendapatnya di dunia nyata akibat pengaruh dari pendapat mayoritas.

Ternyata pada praktek hari ini yang terjadi adalah komentar kebablasan para netizen sehingga tak ada bedanya yang terjadi di dunia maya dan dunia nyata. Malahan akhirnya ketika ada netizen yang berbeda pendapat dengan mayoritas warganet lainnya akan di-bully, dan terjadilah doxing hingga trolling yang mengakibatkan pembungkaman atau setuju dengan pendapat mayoritas warganet (Elisabeth Noelle-Neuwmann, Spiral of Silence, 1983).

Kedua, internet dan media sosial mengakomodasi kebebasan pengguna untuk mengonstruksi identitas daring yang sama sekali sangat berbeda (bahkan tidak berhubungan) dengan identitas si pengguna di dunia nyata. Kebebasan mengonstruksi identitas online ini memunculkan efek disinhibisi online yang membentuk persepsi bahwa pengguna internet sama sekali tidak memiliki konsekuensi apapun atas perbuatannya di dunia maya (Suler, 2004).

Saat penggguna internet dengan bebas membuat identitas anonim, muncul dan kemudian hilang begitu saja setelah selesai berkomentar, dan adanya imajinasi disasosiatif jika aktivitas di dunia nyata sama sekali terpisah dari dunia maya, maka si pengguna media sosial tersebut akan menjadikan dirinya sebagai yang maha benar sehingga tak akan mau memikirkan konsekuensi dari tindakannya tersebut kepada pengguna lain di dunia nyata.

Memperbaiki Keberadaban Netizen +62

Pada tulisan sebelumnya, ada beberapa alternatif yang saya tawarkan untuk mengurangi (jikapun tidak sepenuhnya bisa menghilangkan) kebiadaban Netizen +62. Namun sepertinya, peran institusi pendidikan dan pemerintah saja tidak cukup untuk mencegah keberlangsungan kebiadaban warganet Indonesia. Perlu adanya peran aktif dari penyedia platform digital dalam menyensor konten-konten dan komentar beracun warganet.

Laporan DCI yang menunjukkan tentang perilaku kesopanan warganet di seluruh dunia sekiranya bisa menjadi acuan bagi para provider media sosial untuk mengantisipasi munculnya konten-konten toxic. Dengan menggunakan artificial intelligence dan big data, sebenarnya sangat mudah bagi penyedia layanan media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan YouTube untuk langsung memblokir akun yang kerap mengumbar kebiadaban di media sosial.

Hal yang sama pernah dilakukan oleh Twitter saat menghapus akun Twitter Donald Trump secara permanen. Maka akun-akun serupa pun dapat dideteksi dengan mudah dan kemudian bisa segera diblokir oleh penyedia layanan media sosial.

Dalam hal ini memang dibutuhkan kerjasama antara pemerintah dan provider media sosial untuk menghapus komentar dan akun pengguna yang hanya membawa racun dan kebengisan di ruang digital. Inilah yang seharusnya menjadi tugas utama dari patroli siber yang telah dibentuk oleh Kepolisian Republik Indonesia beberapa waktu silam.

Memperbaiki Keberadaban Netizen +62

Baru-baru ini Microsoft mengeluarkan data Digital Civility Index yang mengukur keberadaban aktivitas digital di seluruh dunia. Pengukuran ini sudah dilaksanakan sejak lima tahun silam, dan tiap tahun jumlah negara yang menjadi responden mengalami kenaikan. Tahun ini ada sekitar 32 negara yang disurvei oleh Microsoft.

Secara global, indeks keberadaban aktivitas digital mengalami peningkatan menjadi lebih beradab di tahun 2020 ketika dibandingkan dengan tahun 2019. Kondisi pandemi Covid-19 memicu aktivitas digital yang lebih baik, seperti berkorespondensi dengan kerabat dan teman lewat video call, berbelanja secara daring, online game, dan menikmati tontonan secara streaming. Kebanyakan aktivitas digital yang positif ini pun ternyata dilakukan oleh kalangan remaja.

Namun ketika menyoroti indeks keberadaban per negara, Indonesia (sebagai salah satu negara responden) ternyata dinilai sebagai netizen terkejam ke-3 di dunia, dan poin kekejaman ini mengalami kenaikan dibanding 2019 silam. Prediket kekejaman ini dilihat dari maraknya penyebaran hoax, penipuan, hingga penyebaran ujaran kebencian. Bahkan 5 dari 10 netizen Indonesia adalah pelaku perundungan (bullying) secara daring.

Pemerintah dan Penyedia Layanan Sebagai Pengeruk Keuntungan

Hasil survei Microsoft ini kemudian direspon oleh pemerintah (dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika/Kemenkominfo) dengan merencanakan pembentukan komite etik yang mengawasi perilaku Netizen +62. Sebelumnya pula pihak kepolisian telah mengaktifkan keberadaan polisi virtual yang sudah mulai berpatroli secara siber sejak 24 Februari silam.

Pembentukan lembaga yang dinaungi oleh pemerintah selalu berpotensi untuk terjadinya penyelewengan kekuasaan. Sebagai instansi yang memiliki otoritas tertinggi untuk mengatur kekuasaan, negara dapat mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi warganya.

Begitu juga seruan agar pemerintah meregulasi perusahaan penyedia platform digital. Bukan rahasia jika pemerintah kerap berkongkalikong dengan para pengusaha media untuk memuluskan tujuan bersama, yakni kelancaran bisnis pemilik media yang bersimbiosis dengan publikasi politisi untuk meningkatkan elektabilitas politik. Bahkan pemerintah juga berafiliasi dengan perusahaan penyedia platform digital dalam mengumpulkan data pengguna internet untuk kepentingan manipulasi politik seperti yang terjadi pada kasus Facebook dan Cambridge Analytica.

Meski perilaku warganet Indonesia di ruang digital sangat biadab, pada kenyataannya justru perusahaan penyedia platform digital dan politisi memanfaatkan big data mengenai perilaku digital warganet demi memperoleh keuntungan. Karena itu, membatasi aktivitas warganet tampaknya tidak akan berkontribusi apapun dalam menekan kebiadaban pengguna internet Indonesia. Sebaliknya, pelarangan aktivitas justru akan membuat netizen semakin mengamuk dan memunculkan kekacauan yang lebih besar.

Upaya Mengurangi Kebiadaban Netizen +62

Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk (setidaknya) mereduksi kebiadaban warganet Indonesia. Upaya ini merupakan langkah terbaik yang dapat dilakukan pemerintah (dengan disokong oleh perusahaan penyedia layanan digital) dalam mengintervensi aktivitas digital netizen tanpa berpotensi mencederai kebebasan berpendapat dan kemungkinan pembungkaman di kemudian hari.

Pertama, menjadikan literasi media digital sebagai kurikulum dan mata pelajaran wajib untuk pendidikan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dalam survei Microsoft memang disebutkan, lingkungan digital yang toxic disebabkan oleh kalangan usia 18+ (dewasa). Pendidikan literasi media digital dalam lingkungan pendidikan formal dapat menjadi tameng bagi generasi muda ketika masuk dalam lingkungan digital yang beracun. Lewat pendidikan formal literasi media digital pula, generasi muda tidak akan mengulangi pola membentuk kebiadaban ekosistem digital.

Penerapan literasi media digital sebagai kurikulum wajib dalam institusi pendidikan formal merupakan hal yang mendesak, sebab di masa mendatang kehidupan sosial tak bisa dipisahkan dari penggunaan dan pemanfaatan teknologi komunikasi digital. Memiliki pengetahuan tentang literasi media digital adalah keharusan agar generasi berikutnya (yang notabene adalah generasi digital native) memiliki kebijakan bermedia.

Kedua, (masih berkaitan dengan peran institusi pendidikan formal) lembaga pendidikan harus turut aktif melibatkan peran keluarga dalam mengedukasi penggunaan media digital. Jadi bukan hanya mendidik anak untuk bijak bermedia, melainkan orang tua dan anggota keluarga yang bertanggung jawab terhadap sang anak juga harus dilibatkan untuk saling memantau aktivitas digital anggota keluarga. Sebagai unit terkecil dan terdekat dalam struktur tatanan masyarakat, peran anggota keluarga yang secara aktif mengawasi dan saling membimbing anggotanya dalam penggunaan media digital lambat laun mampu mengurangi kebiadaban perilaku digital.

Terakhir, regulasi yang harusnya diterapkan oleh pemerintah adalah pada konten, bukan pada pengguna. Apabila pembatasan diterapkan pada pengguna, yang bisa terjadi adalah praktik pembungkaman pendapat. Praktik yang terjadi selama ini adalah menyasar pengguna media sosial dengan hukuman pidana akibat penafsiran UU ITE yang terlalu fleksibel.

Jika menyasar pada konten (seperti penghapusan konten provokatif dan berbahaya), pemerintah tidak membatasi kebebasan individual warganet dalam menciptakan konten. Sebaliknya, kreator konten justru akan menciptakan konten yang lebih sopan dan kreatif agar kontennya tidak dihapus. Dalam hal ini, pemerintah dapat bekerja sama dengan penyedia layanan platform digital untuk membuat kriteria konten yang dihapus.

Sebagai contoh adalah ketika Facebook menghapus postingan Donald Trump yang menyebarkan kebohongan tentang Covid-19. Donald Trump sebagai pribadi tidak dipidanakan karena postingannya karena asas penghormatan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat. Namun kontennya seketika langsung dihapus. Hingga pada saat yang ekstrem ketika Trump malah memprovokasi pendukungnya lewat media sosial untuk membuat keributan di Capitol Hills, barulah Twitter menghapus dan melarang akun Trump secara permanen.

Pemberian pendidikan literasi media digital sangat mendesak dan merupakan cara paling aman untuk meningkatkan keberadaban netizen Indonesia tanpa pembatasan ekspresi individual. Lewat literasi media digital pula, warganet bisa memiliki pengetahuan mengenai positif-negatif penggunaan teknologi digital, hingga produksi-distribusi-konsumsi konten digital yang cerdas.

Ketika pendidikan literasi media digital diberikan dan diterapkan, ruang digital Indonesia tak akan lagi sesuram saat ini.

Demokrasi yang Rusak Karena Buzzer

Beberapa waktu silam, Presiden Joko Widodo mengatakan agar masyarakat aktif memberikan kritik kepada pemerintah. Sepatutnya pernyataan presiden ini adalah sebuah ironi di negara dengan sistem demokrasi yang memang membebaskan (bahkan mengharuskan!) rakyat secara aktif mengkritik kebijakan pemerintah. Sungguh memalukan, bahwasanya negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia harus diingatkan untuk aktif mengkritik pemerintahnya.

Sebabnya karena kebebasan dan keharusan dalam mengkritik pemerintah selalu dibayangi oleh dua hantu yang siap sedia menebar teror bagi para kritikus: UU ITE dan serangan buzzer. Hantu yang terakhir ini terasa lebih menyeramkan karena sering melancarkan serangan secara sistematis dengan menyerang karakter personal sang kritikus melalui ujaran kebencian dan bullying. Tak heran figur seperti Kwik Kian Gie pun kini merasa ketakutan untuk melontarkan kritik pada pemerintah, sebab para buzzer bisa mengobrak-abrik masalah pribadinya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun sampai mengharamkan aktivitas buzzer karena berpotensi membahayakan demokrasi dengan menyebarkan berita bohong, perundungan, dan pembungkaman pendapat. Padahal demokrasi dibangun dari kebebasan individu dalam mengekspresikan opini, sekalipun pendapat itu sangat bertentangan dengan kebijakan pemerintah maupun pandangan politik oposisi. Pendapat yang muncul dari satu individu bisa membentuk opini publik yang pada akhirnya mempengaruhi dan menentukan proses politik menjadi demokratis (Schumpeter, 1942).

Penyampaian pendapat di jagad maya tidak pernah memilki keterbatasan waktu dan tempat (space). Di media mainstream seperti televisi dan koran, individu yang ingin mengemukakan pendapatnya harus terlebih dulu melewati kontrol ketat yang ditentukan di ruang redaksi. Sering pula ruang redaksi tak lepas dari intervensi elit media yang memiliki afiliasi dengan kepentingan politik dan ekonomi tertentu (Herman & Chomsky, 1988). Dengan demikian opini individu seringkali harus disaring atau bahkan ditolak. Namun tidak pernah demikian halnya dengan berpendapat di ruang digital.

Karena kebebasan mengkritik terkadang dinilai dapat membahayakan suatu entitas (baik itu pemerintahan, partai dan aktor politik, hingga merk dagang perusahaan), buzzer kerap dijadikan sebagai ‘pasukan’ penyerang dan pertahanan segala kritik publik terhadap entitas tersebut. Namun ternyata hari ini praktik buzzer berubah untuk menyebarkan informasi yang salah (misleading) dan teror.

Buzzer, si Perusak Demokrasi

Dalam mempengaruhi opini publik di ruang maya, ada tiga unsur yang kerap dijadikan acuan pendapat: influencer, key opinion leader, dan buzzer. Baik influencer dan key opinion leader merujuk pada entitas personal yang memiliki keahlian dan pengetahuan tertentu mengenai suatu bidang. Reputasi mereka pun kerap dipercaya oleh banyak orang.

Sedangkan buzzer adalah organisasi struktural yang dapat berupa kumpulan perseorangan atau akun robotik yang mengumpulkan algoritma dan big data dari aktivitas digital audiens dan kemudian menyaring serta mengolah data tersebut menjadi informasi menyesatkan untuk memanipulasi opini publik (Bradshaw & Howard, 2019).

Dalam laporan The Global Disinformation Order yang dipublikasikan oleh University of Oxford, Inggris, penggunaan buzzer dirancang untuk tiga hal berikut:

  • menekan hak asasi fundamental manusia dalam berekspresi dan mengungkapkan pendapat
  • mendiskreditkan lawan politik
  • menghilangkan perbedaan politik

Dalam laporan tersebut juga dijelaskan, dari 70 negara yang diteliti mengenai aktivitas buzzer (termasuk Indonesia), setidaknya satu instansi pemerintahan dan/atau partai politik menggunakan jasa buzzer untuk menyebarkan serangan dan informasi yang menyesatkan dalam pembentukan opini publik.

Praktik yang dilakukan para buzzer selalu melenceng dari etika bermedia karena melakukan penyerangan terorganisir pada pihak oposisi dengan menyebarkan hate speech, mencemarkan reputasi perorangan atau kelompok, bullying, hingga ancaman kekerasan fisik atau pelecehan seksual. Intinya, buzzer menyerang agar pihak oposisi merasa takut untuk mengemukakan pendapatnya di kemudian hari, dan dengan demikian opini publik dapat digiring sesuai dengan narasi terstruktur yang dibentuk oleh buzzer saja.

Saat pemerintah pun malah mensponsori jasa buzzer untuk membungkam pendapat publik di media digital, secara tak langsung pemerintah telah mendeklarasikan rezimnya sebagai rezim otoriter yang membatasi dan menghalangi kebebasan beropini. Rezim yang membatasi warganya dalam menyuarakan pemikirannya berarti telah menerapkan kediktatoran dalam menjalankan pemerintahan (Levitsky & Ziblatt, How Democracies Die, 2018). Ketika publik bahkan merasa takut untuk menyuarakan kepentingannya akibat adanya ancaman, pemerintah dapat menjalankan kekuasaan dengan bebas tanpa pengawasan.

Melawan Narasi Buzzer di Jagad Maya

Narasi-narasi yang dicetuskan oleh buzzer di jagad maya memang dirancang untuk mendominasi percakapan digital. Namun untuk melawan narasi yang diciptakan oleh para buzzer dengan menggunakan buzzer lainnya, seperti yang dengan enteng diungkapkan oleh Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin, bukan merupakan solusi.

Melawan narasi buzzer dengan buzzer lain justru akan semakin memunculkan kerancuan dan memperbanyak informasi yang menyesatkan. Percakapan hanya dikuasai oleh buzzer, sedangkan narasi organik yang berasal dari publik pada akhirnya tenggelam dalam percakapan digital para buzzer.

Upaya untuk melawan penggiringan opini publik yang diatur oleh buzzer adalah dengan meningkatkan pengetahuan mengenai literasi media digital. Cara termudah membangun literasi media digital adalah dengan sebanyak mungkin membaca dari beragam sumber informasi, kemudian tak begitu saja percaya dengan suatu informasi sebelum menggali informasi lain. Tentunya sumber informasi pun harus yang terpercaya, dan bukan hanya sekedar mencari sensasi dengan cerita yang bombastis.

Ketika pengetahuan audiens telah terbentuk, akan lebih mudah untuk menciptakan percakapan organik yang menguasai trending percakapan digital. Pengalaman ini pernah terbukti ketika penolakan Omnibus Law yang tidak hanya melibatkan aktivis, akademisi, dan mahasiswa. Justru percakapan mengenai Omnibus Law semakin pecah ketika para K-Popers juga ikut nimbrung menolak UU Cipta Kerja ini. Percakapan organik yang dibangun oleh netizen non-buzzer pada akhirnya justru mampu mengalahkan narasi para buzzer di jagad media digital.

Cara lain untuk melawan narasi buzzer adalah dengan mempersiapkan mental ketika menghadapi perundungan atau cacian dari para buzzer. Memang terdengar klise. Namun harus diakui, dalam setiap rezim pemerintahan akan selalu ada tekanan ketika hendak melawan penguasa yang tak berpihak pada kepentingan publik. Penjeratan lewat pasal-pasal perundangan sesekali diterapkan. Hinaan dari buzzer pun pastinya tak terhindarkan.

Jika mental tidak siap untuk menerima tekanan dari penguasa, apakah mungkin lebih siap mengalami pembungkaman?

Karena Sepucuk ‘Surat Cinta’ dari Eiger

Sepucuk ‘surat cinta’ yang dikirimkan oleh pihak brand olahraga lokal terkemuka Eiger kepada influencer Dian Widiyanarko mendapat sorotan negatif di jagad percakapan dunia maya. Pasalnya pihak Eiger berkeberatan dengan kualitas video di akun YouTube Dian yang dinilai tidak menonjolkan kelebihan produk Eiger, sebab kualitas gambar dinilai buram dan background pengambilan gambar pun dinilai tidak proper.

Padahal dalam review tersebut, Dian justru memuji kacamata bersepeda yang dibelinya di salah satu gerai Eiger dari sisi harga yang lebih terjangkau dan kecocokan frame kacamata tersebut dengan postur wajahnya. Dian bahkan mengungkapkan dalam video tersebut bahwa dia telah menyukai produk Eiger sejak lama. Sayangnya, Eiger malah meminta Dian untuk menghapus video tersebut karena dianggap tidak menonjolkan kualitas merk peralatan yang sebenarnya.

Eiger memang telah meminta maaf secara terbuka di hadapan publik tentang sikap manajemen mereka yang salah dalam menegur dan mengomentari ulasan Dian di akun YouTube Dunia Dian. Namun reaksi negatif dan komentar marah netizen tak terhindarkan karena brand ini justru tidak menghargai ulasan positif dan jujur yang seharusnya lebih menjadi highlight dalam review produk oleh seorang influencer.

Jika melihat tampilan video dari influencer lainnya, sebenarnya cukup banyak konten yang dibuat yang (mungkin) tidak memenuhi “standar” kualitas video Eiger. Sebagai contoh adalah video-video yang dibuat beauty enthusiast ketika mengulas produk kosmetik. Sebagian besar beauty vlogger justru membuat video tersebut dari dalam kamar tidur yang pencahayaannya tidak proper. Bahkan dalam beberapa video juga bisa terdengar suara adik mereka yang sedang berteriak dari kamar sebelah.

Tetap saja hal tersebut tidak mempengaruhi penilaian netizen terhadap brand yang mereka inginkan. Sebab bagi para calon pelanggan, yang terpenting adalah bagaimana produk tersebut berfungsi dan sesuai bagi mereka. Influencer adalah juga seorang pelanggan yang telah mencoba produk tersebut, kemudian dengan senang hati memberikan masukan, saran, memaparkan keunggulan dan kekurangan produk secara jujur lewat konten foto atau video di akun media sosialnya.

Influencer dan Pemasaran di Era Digital

Viralnya kasus Eiger seolah menggambarkan ketidaksiapan brand dalam menghadapi pergeseran teknik pemasaran di era digital.

Di masa merebaknya beragam pembuatan konten media sosial, setiap individu berupaya membangun reputasi diri lewat postingan media sosial. Salah satu caranya adalah dengan menampilkan produk dan layanan apa yang dinikmati. Maka dari itu, terlihat agak mustahil jika suatu brand tidak pernah mendapatkan exposure di akun media sosial pengguna manapun, baik itu dalam kapasitas memuji atau mengomentari kekurangan.

Namun tidak semua akun media sosial dapat dikatakan sebagai influencer. Selain memperhatikan jumlah pengikut di akun media sosialnya, suatu akun dapat menjadi influencer dalam suatu bidang karena konsistensi dalam mengulas topik yang sama. Misalnya suatu akun yang terus-menerus me-review perangkat teknologi sehingga menjadikannya sebagai tech influencer.

Bukan hanya konsistensi, influencer pun harus memiliki pengetahuan dan keahlian mengenai topik yang dibahas meski tidak harus menjadi expert. Pengetahuan inilah yang menjadikan seorang influencer dapat mengupas suatu produk secara detail dan mendalam, sehingga ulasannya menjadi lebih jujur dan terbuka.

Ulasan jujur ketika mendeskripsikan kelebihan dan kelemahan suatu produk menjadikan influencer mampu membangun jejaring di media sosial (Hennessy, 2018). Melalui jejaring inilah interaksi dan kepercayaan dibangun di antara influencer dan pengikutnya sehingga pernyataan seorang influencer kerap dianggap lebih kredibel dibandingkan dengan tampilan iklan produk yang muluk-muluk (Kotler, Kartajaya, Setiawan, 2017). Pada kasus ekstrem, terkadang kepercayaan terhadap influencer bahkan melebihi kepercayaan terhadap para pakar/ahli.

Pertumbuhan akun media sosial sebenarnya malah semakin menguatkan kepercayaan dalam ruang lingkup internal yang dirasakan lebih memiliki kedekatan personal dengan preferensi yang sama. Inilah yang kerap direpresentasikan oleh influencer.

Oleh karenanya, jika brand tidak tanggap terhadap pola komunikasi dan interaksi dalam ekosistem percakapan digital, brand akan mendapatkan kecaman karena melulu menerapkan komunikasi vertikal yang bersifat satu arah dari pihak brand saja, namun tidak merangkul komunitas daring yang membangun percakapan lewat jejaring influencer.

Entitas Brand di Jagad Maya

Kasus Eiger hendaknya menjadi pembelajaran bagi setiap brand dalam mengomunikasikan dan mencitrakan produknya pada pelanggan di dalam percakapan dunia maya. Di masa kini, hampir semua entitas produk telah saling terhubung secara daring baik itu lewat website, akun media sosial official (resmi), konten endorse yang dibayar atau tidak, hingga lewat beragam gerai toko daring seperti Tokopedia atau BukaLapak.

Tidak ada celah yang tertutup bagi netizen untuk bereaksi terhadap produk, baik itu dalam memberi kesan positif hingga kritik paling mencela sekalipun. Semua reaksi ini dilakukan netizen secara sukarela dan malah menjadi rujukan bagi para calon pelanggan yang hendak menggunakan suatu produk. Calon pelanggan kini tak lagi melirik pada iklan yang sengaja dipersiapkan oleh pihak brand. Justru brand harus lebih membangun kedekatan dan merangkul komunitas pelanggan dalam percakapan online.

Hendaknya entitas brand juga bersikap bijak dalam menanggapi suatu postingan media sosial yang dibuat oleh pelanggan. Jika postingan tersebut tidak merusak reputasi brand secara fatal, tidak perlu bersikap reaktif seperti yang dilakukan manajamen Eiger. Yang ada saat ini malah blunder hingga ikut menyeret-nyeret postingan media sosial Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang juga dinilai tidak proper menurut “standar” Eiger.

Krisis (Karena) Influencer

Kampanye agar tidak takut divaksin Covid-19 yang melibatkan selebritis Raffi Ahmad dianggap sebagai bumerang. Pasalnya, selebritis yang bergelar Sultan Andara ini malah terlihat berkumpul di sebuah acara bersama rekan-rekannya tanpa menerapkan protokol kesehatan setelah beberapa jam divaksin.

Sontak saja netizen jagad maya riuh sebab Raffi dinilai tidak menunjukkan citra yang sesuai dengan ‘tugas’ yang diembannya dari pemerintah, yakni mencitrakan diri sebagai figur yang tetap peduli dengan penerapan aturan kesehatan selama pandemi Covid-19 meski sudah divaksin.

Ketidakbertanggungjawaban yang ditunjukkan oleh Raffi Ahmad membuat pihak Istana kelabakan dan menegur sosok yang kerap menjadi presenter ini. Sebagian kalangan bahkan meminta agar Raffi mundur dari tim sukses kampanye vaksinasi Covid-19.

Namun benarkah ini semua sepenuhnya kesalahan sang Sultan Andara?

Mendefinisikan Makna Sebenarnya Influencer

Raffi mulanya dipilih oleh pihak Istana sebagai ‘influencer’ dan representasi kaum milenial agar mempercayai keamanan dan efektivitas vaksin Covid-19 yang disediakan oleh pemerintah Indonesia, yakni Sinovac. Keterpilihan Raffi mewakili generasi muda ini dinilai karena faktor popularitas dan jumlah followers puluhan juta orang di akun media sosialnya.

Namun sebenarnya jumlah followers jutaan orang di media sosial tidak serta merta mengklaim suatu akun sebagai influencer. Seseorang dengan pengikut hanya ribuan pun dapat menjadi influencer. Penilaian untuk menjadi influencer dilihat dari kepiawaian suatu akun di media sosial dalam mempersuasi/membujuk audiens untuk bersikap seperti yang direkomendasikan oleh sang influencer. Selain itu, influencer pun kerap memiliki tingkat interaktivitas yang tinggi dengan para pengikutnya sehingga tidak saja meningkatkan engagement dalam aktivitas di media sosial, namun juga munculnya trust terhadap konten-konten yang dibuat oleh sang influencer.

Brittani Hennessy dalam bukunya Influencer menyatakan, seseorang akan menjadi influencer manakala dia membangun reputasi dan citra diri di media sosial dengan berdasarkan pengetahuan dan keahlian yang dimiliki mengenai suatu topik tertentu. Secara konsisten pula, influencer hanya membuat konten otentik yang mencerminkan kepribadian dirinya. Seorang influencer tidak akan pernah menerima tawaran endorse dari suatu brand yang tidak sesuai dengan orisinalitas dirinya.

Karena orisinalitas dan kemampuannya dalam menguasai suatu topik, influencer pada umumnya memiliki tingkat engagement yang tinggi dengan followers. Segala bentuk postingan kerap mendatangkan reaksi positif dan dipercaya. Kepercayaan inilah yang membuat seorang influencer mampu mempengaruhi (to influence) audiens untuk mengikuti segala perilaku sang influencer (Goldenberg et all, 2009).

Contoh influencer antara lain seperti vlogger yang mengupas kelebihan dan kekurangan suatu produk seperti kosmetik (beauty vlogger), tempat kuliner dan jalan-jalan (travel vlogger); YouTuber yang mengulas topik spesifik seperti gadget atau otomotif; dan blogger yang mengulas secara tuntas mengenai suatu aktivitas hingga membahas topik khusus seperti parenting, kesehatan, ulasan buku/musik/film, hingga isu-isu humaniora lainnya.

Berbeda dengan selebritis dan kategori figur publik lain (seperti model, atlet, komidian, entrepreneur, dan politisi) yang membangun reputasinya tidak berdasarkan aktivitas media sosial. Bagi selebritis, media sosial hanya merupakan salah satu channel pemasaran untuk meningkatkan popularitasnya. Konten-konten yang kerap dibagikan oleh selebritis juga kebanyakan berkaitan dengan aktivitas dan keseruan hidup yang mereka jalani.

Oleh sebab itu, golongan ini lebih merupakan lifecaster ketimbang influencer. Netizen yang mengikuti aktivitas mereka di media sosial tertarik untuk melihat para lifecaster membagikan momen hidup mereka yang terlihat luar biasa, misalnya seperti saat membeli mobil Ferrari limited edition, menghabiskan uang hingga ratusan juta rupiah demi tas Hermes keluaran terbaru, liburan di resor termewah di Kepulauan Karibia, dan masih banyak lainnya.

Indonesia Krisis Influencer

Kembali lagi pada pertanyaan yang diajukan di awal tulisan, benarkah ini semua murni kesalahan Raffi Ahmad?

Sebagai seorang selebritis, tidak ada yang salah jika Raffi Ahmad ingin membagikan postingan di media sosial tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukannya. He deserves to broadcast his life. Dalam kasus ini pun, sebenarnya bukan Raffi Ahmad yang membagikan momen keseruan pesta tersebut, melainkan rekan selebritis lainnya Anya Geraldine. Tidak ada hak yang melekat pula pada Raffi Ahmad untuk melarang Anya Geraldine membagikan post di akun media sosial milik Anya sendiri. So, who’s to blame?

Mau tak mau, tulisan ini hendak menuding pemerintah sebagai instansi yang tidak cermat dalam memilih figur untuk mengampanyekan isu kesehatan sepenting ini.

Dalam dunia pemasaran era digital, peran influencer saat ini kian penting untuk meningkatkan popularitas suatu isu dan juga keterjangkauan khalayak (Koetler, Kartajaya, Setiawan, 2014). Namun umumnya entitas yang telah memiliki reputasi tinggi selalu memiliki kriteria tertentu dalam memilih influencer yang akan mewakili citra dan isu yang diusung oleh entitas, dan kriteria tersebut tidak selalu didasarkan pada jumlah followers.

Banyaknya pengikut tidak selalu menjadi jaminan, sebab bisa saja alasan untuk mengikuti sebuah akun di media sosial dilandasi keinginan untuk menjadi haters alih-alih sebagai pengikut loyal yang membangun interaksi positif dengan si pemilik akun yang diikutinya.

Kriteria yang sering dilihat dalam memilih influencer adalah konsistensi dan pengetahuan mengenai topik yang dibahas saat membuat konten. Seorang beauty vlogger menjadi seorang beauty vlogger karena kerap menge-post testimoni sebuah produk kecantikan hingga membuat tutorial makeup. Ketika tiba-tiba sang vlogger membahas mesin mobil Hyundai, brand kosmetik akan meragu meminta sang influencer untuk mengampanyekan produknya.

Dari beragam konten yang dibuat Raffi Ahmad di akun Instagram atau YouTube, Raffi tidak pernah mengkhususkan diri membahas suatu topik tertentu secara mendalam. Raffi Ahmad adalah seorang selebritis yang menggunakan akun media sosialnya untuk menyiarkan keseruan hidup yang dijalaninya. Raffi adalah seorang lifecaster, bukan influencer yang menggunakan teknik pemasaran dan persuasi untuk mempengaruhi (to influence) audiens.

Sekarang bergantung pada tujuan pemerintah dalam menyosialisasikan suatu isu yang ingin menjangkau publik secara digital. Jika pemerintah hendak mencari seseorang yang bisa mempengaruhi (to influence) publik agar mau divaksin Corona, hendaknya mencari seorang influencer yang juga memiliki pengetahuan dan perhatian terhadap isu-isu kesehatan seputar Covid-19.

Namun bila pemerintah hendak menunjukkan jika vaksin Covid-19 aman dan setelah disuntik bisa langsung bersosialisasi tanpa menerapkan protokol kesehatan, maka lifecaster seperti Raffi Ahmad sudah mencukupi.

Eksploitasi dan Politisasi Video Gisel

Gisella Anastasia, selebritis yang disangkakan dalam kasus video seks yang melibatkan dirinya, akhirnya dibebaskan oleh Polda Metro Jaya setelah ditahan dan ‘diadili’ selama lebih dari sepuluh jam. Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, pembebasan Gisel dilakukan demi alasan kemanusiaan karena Gisel masih memiliki balita berusia empat tahun.

Sungguh sebuah alasan konyol! Entah berapa orang yang telah ditahan polisi yang pastinya juga ada yang memiliki anak balita. Tidakkah demi alasan kemanusiaan pula, para tahanan tersebut turut dibebaskan pula oleh polisi?

Tampaknya polisi kehabisan ide mencari alasan tepat untuk menahan Gisel, sebab memang sejak awal penyanyi jebolan Indonesian Idol tersebut tidak melakukan pelanggaran hukum yang menyebabkan statusnya dijadikan tersangka dan harus ditahan.

Penetapan Gisel sebagai tersangka kasus video porno yang berujung pada penahanannya oleh pihak kepolisian, sesungguhnya merupakan bentuk eksploitasi terhadap identitas Gisel sebagai figur publik dan aktivitas seksual pribadinya. Selayaknya Gisel adalah korban dari pencemaran nama baik dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh netizen yang berupaya untuk panjat sosial demi meningkatkan popularitas di akun media sosial mereka.

Gisel Sebagai Korban Eksploitasi Popularitas

Mencuatnya video aktivitas seksual Gisel dan Nobu bermula dari PP & MN yang mengunduh konten tersebut di akun media sosial mereka. Alasan keduanya menempatkan video tersebut di laman media sosial mereka adalah untuk meningkatkan jumlah followers. Jumlah followers media sosial selalu diyakini sebagai indikator popularitas di jagad maya.

Demi popularitas, PP & MN memanfaatkan popularitas Gisel sebagai selebritis dengan mengunduh video aktivitas seksual Gisel. Terbukti video tersebut akhirnya menjadi viral dan memunculkan skandal besar di penghujung 2020.

Upaya yang dilakukan PP & MN untuk kepentingan pribadinya sesungguhnya adalah pelanggaran yang merugikan orang lain. Demi konten dan popularitas jagad maya, PP & MN telah mengeksploitasi Gisel yang berstatus sebagai public figure. Upaya panjat sosial PP & MN ini telah merugikan dan merusak nama baik Gisel, terlebih karena urusan pribadi Gisel pada akhirnya diketahui oleh publik.

Dengan merebaknya konten privat ini ke ranah publik, tak urung persoalan ini pun menjadi makanan empuk bagi media. Berita tentang seks sendiri pada dasarnya telah memiliki suatu newsworthy sebab selalu melibatkan drama yang sensasional. Kemudian lagi-lagi status selebritas Gisel semakin menambah kuat nilai berita tersebut: maginitude (daya tarik/kebesaran suatu berita), prominence (keterkenalan), dan konflik (pro-kontra yang memandang tindakan Gisel sebagai amoral, karena pada saat video tersebut direkam Gisel masih merupakan istri Gading Marten).

Gisel Sebagai Korban Eksploitasi Seksual

Pembuatan video adegan bercinta tersebut sama sekali tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi tontonan umum. Video tersebut dimaksudkan untuk kepentingan pribadi.

Ada banyak alasan personal yang menyebabkan seseorang ingin merekam kegiatan seksualnya, antara lain untuk meningkatkan libido dan gairah seks, pemenuhan fantasi seksual bersama pasangan, hingga apresiasi terhadap tubuh sendiri dan pasangan. Sebelum merekam adegan bercinta pun, terlebih dulu pasangan harus tahu jika aktivitasnya sedang direkam.

Bahkan jika perlu ada perjanjian yang menyebutkan bahwa pemeran dalam video seks tersebut tidak terkena masalah di kemudian hari yang dapat merusak nama baik dan kehormatan mereka. Kecuali untuk kepentingan industri film porno, pada hakikatnya pembuatan video seks adalah untuk kepentingan pribadi yang harus mengedepankan keamanan privasi!

Ketika PP & MN secara sadar mengunduh konten privat ini menjadi konsumsi publik, PP & MN telah melakukan pelecehan seksual terhadap Gisel dan Nobu karena telah mengekspos bagian tubuh Gisel dan Nobu tanpa seizin mereka berdua. PP & MN adalah kriminal yang telah melecehkan Gisel dan Nobu dengan mempertunjukkan tubuh keduanya ke pada orang-orang yang tidak berhak.

Politisasi Kasus Gisel oleh Negara dan Kaum Bermoral

Sementara itu, jutaan kecaman datang terhadap perilaku Gisel dan Nobu datang menyerang dari para kaum bermoral. Percakapan di jagad maya beramai-ramai menghakimi Gisel sebagai pezina yang memang patut dihukum karena telah melanggar norma susila dan agama karena melakukan hubungan seks di luar nikah. Tudingan semakin berat, sebab Gisel saat itu masih terikat dalam pernikahan.

Padahal apa yang dilakukan Gisel dan Nobu tidak merugikan pihak manapun. Tidak ada yang tahu masalah apa yang terjadi dalam rumah tangga Gisel-Gading saat itu sehingga Gisel melakukan upaya lain untuk memenuhi hasrat seksualnya. Namun penghakiman dunia maya terus bermunculan lewat derasnya kata-kata hujatan terhadap Gisel. Sementara pengecaman itu terus diungkapkan, beramai-ramai pula para pengecam itu mencoba mencari dan meononton ‘momen 19 detik’ tersebut.

Soe Tjen Marching dalam bukunya Seks, Tuhan, & Negara mengungkapkan, sesungguhnya kasus video seks yang melibatkan selebritis selalu dipenuhi nafsu audiens untuk menyaksikan adegan-adegan percintaan tersebut. Nafsu tersebut timbul akibat hasrat seksual kebanyakan audiens tidak tersalurkan sebagaimana mestinya.

Minimnya pengetahuan tentang seks juga menjadikan seks sebagai topik yang masih sangat tabu untuk dipergunjingkan di depan khalayak ramai. Dengan demikian, seks kemudian dilabeli sebagai tindakan imoral jika dilakukan di luar ketetapan yang telah disahkan oleh norma dan hukum buatan negara.

Atas alasan moralitas ini lah maka cukup banyak yang mendukung Gisel sebagai tersangka dan seharusnya ditahan, walaupun secara aturan pidana tidak ada satu hal pun yang dilanggar oleh Gisel dan Nobu saat merekam video aktivitas seksual mereka.

Eksploitasi Gisel sebagai pemeran video seks tersebut juga bisa jadi merupakan salah satu manipulasi politik untuk meredam isu yang lebih besar. Di negara-negara lain, kasus seks sering dijadikan cara untuk meredam ketegangan politik yang tengah berlangsung saat itu. Contohnya tuduhan sodomi yang dilakukan oleh tokoh politik Anwar Ibrahim yang merupakan sosok oposisi paling mengkhawatirkan bagi Mahatir Mohammad sebagai Perdana Menteri Malaysia saat itu.

Secara kasat mata para pejabat publik di negara ini tampak lebih bermoral dan kerap mengecam tindakan seks di luar nikah, sehingga sangat sulit untuk ‘mengorbankan’ salah satu pejabatnya dalam skandal seks. Oleh sebab itu, mendomplang kasus seks yang melibatkan figur terkenal lainnya juga tetap ampuh untuk meredam isu politik yang sedang hangat terjadi, misalnya dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan negara saat menangkap Habieb Rizieq dan pembubaran organisasi Front Pembela Islam.

Apa yang lebih heboh dari skandal seks yang melibatkan figur seterkenal Gisel?

*sumber foto: Okezone Celebrity

Memilih atau Tak Memilih Pada Pilkada 2020

Pada lain kesempatan, yang akan saya kampanyekan di akun media sosial dan instant messenger pastinya adalah seruan untuk menggunakan hak pilih pada pemilu atau pilkada. Namun di tengah situasi pandemi yang berpotensi menambah penularan infeksi Covid-19, akal dan hati serasa tak sinkron untuk berseru agar masyarakat menggunakan hak pilihnya pada pilkada 9 Desember mendatang. Tak ada yang bisa menjamin penularan tak terjadi meski sejumlah protokol kesehatan sudah diterapkan.

Sehari setelah melaksanakan pemilu di Amerika Serikat pada 4 November silam, 120 ribu orang kemudian terindikasi telah terinfeksi Covid-19. Padahal penyelenggaraan pemilu di negeri Paman Sam tidak melulu mengharuskan pemilih hadir ke tempat pemilihan, sebab pemilihan bisa dilakukan via pos dan secara elektronik. Tapi tetap jumlah yang terinfeksi Corona setelah pemilu mencapai ratusan ribu.


Di Indonesia, ada sekitar 105 juta orang yang terdaftar sebagai pemilih di 270 daerah yang akan melaksanakan pilkada serentak (terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota). Sampai saat artikel ditulis, ada 24 daerah pilkada yang diidentifikasi sebagai Zona Merah penyebaran Covid-19. Jadi wajarlah jika banyak pihak yang menentang pergelaran pilkada pada tahun ini karena menimbang resiko penularan Covid-19.


Haruskah Pilkada Digelar? 

Penyelenggaraan pilkada serentak 2020 di tengah masa pandemi, sesungguhnya bagaikan memakan buah simalakama. Jika pilkada digelar, ratusan hingga jutaan orang berpotensi terinfeksi virus. Meski himbauan untuk mematuhi protokol kesehatan digaungkan, tetap tak ada yang bisa menjamin ketepatan pelaksanaannya dalam sebuah kerumunan yang ramai. 


Akan tetapi jika pilkada tak digelar, sejumlah konstitusi negara pun akan dilanggar. Sistem presidensial telah menerapkan jangka waktu tertentu dalam memegang tampuk kekuasaan di kursi pemerintahan. Ketiadaan pemilihan umum akan memperpanjang waktu kekuasaan yang bisa berakibat pada kemungkinan munculnya rezim otoriter di daerah, misalnya potensi untuk menumbuhkan kekuatan dinasti politik lokal.

Di tengah situasi pandemi yang cukup membuat kalang-kabut, otoriterisme dalam pemerintahan lokal adalah hal yang paling tidak diharapkan sebab mampu menghambat upaya penanggulangan dan pencegahan Covid-19 di daerah berjalan sebagaimana mestinya.

Walau Indonesia tengah dilanda situasi pandemi Covid-19 yang tampaknya kian hari kian memburuk, penundaan pilkada serentak juga bukan merupakan opsi terbaik dengan mempertimbangkan segala skenario terburuk pelanggaran konstitusional. Menunda waktu pilkada berarti meniadakan kepastian hukum dari segi persoalan waktu dalam penyelenggaraan kekuasaan. Ketidakpastian ini pada akhirnya malah merusak tatanan berdemokrasi.

Oleh sebab itu, tak ada jalan lain yang dapat ditempuh oleh penyelenggara kekuasaan selain dengan menggelar pilkada serentak walau sekarang masyarakat tengah berada dalam situasi penyebaran virus Corona.

Memilih Untuk Mencoblos atau Tidak Mencoblos

Bagaimanapun pilkada serentak tetap harus digelar. Kini persoalannya bukan lagi soal ditunda atau tidak, melainkan keputusan rakyat untuk menggunakan hak pilihnya atau tidak.

Pada himbauan-himbauan pemilu pra-pandemi, sangat keras digaungkan untuk menggunakan hak pilih dan jangan sampai tidak datang ke tempat pencoblosan. Beragam dalil dikeluarkan bahwa golput itu haram, hingga statement yang menyatakan “yang tidak memilih tidak boleh memprotes rezim terpilih karena dia tidak memiliki hak memprotes ketika dia menyerahkan hak pilihnya”.

Sesungguhnya tidak memilih dalam pemilu/pilkada pun merupakan sebuah hak memilih: memilih untuk tidak berpartisipasi dalam proses pemilihan kekuasaan. Jika ada yang menggunakan hak untuk tidak datang ke tempat pemungutan suara, tak berarti dia tak lagi memiliki hak konstitusional sebagai warga negara untuk mengawasi jalan pemerintahan rezim terpilih.

Selagi masih merupakan Warga Negara Indonesia, hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan berpolitik (baik dalam skala nasional maupun daerah) diperbolehkan dan bahkan diharuskan. Contoh payung hukumnya terdapat pada Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah hingga UUD 1945 (Pasal 27 ayat 3, Pasal 28, dan Pasal 28I ayat 1). Jadi keputusan untuk mencoblos atau tak mencoblos pada 9 Desember besok adalah keputusan pribadi konstitusional yang harus mempertimbangkan hati nurani dan tentunya faktor kesehatan serta keamanan dari probabilitas terkena Covid-19.

Namun jika Anda bertanya pada preferensi pribadi saya, apa boleh buat, sepertinya pada pilkada serentak kali ini saya harus absen memilih demi faktor keamanan. Sebab di rumah saya terdapat anak balita dan orang tua yang merupakan golongan paling rentan terinfeksi Covid-19. Apalagi daerah pemilihan saya merupakan zona merah. Tak ada toleransi jika orang-orang tersayang malah harus terinfeksi Corona, atau justru kehadiran kita di tempat pemilihan malah semakin menularkan penyakit ke banyak orang.

Dasarkan keputusan memilih Anda pada kesehatan!

Daebak, Oppa & Unnie

Penggemar budaya Korea atau dikenal dengan sebutan K-Popers selama ini kerap mendapat stigma negatif sebagai kelompok militan yang terlalu posesif dengan idol K-Pop. Ada fans yang menjadi fanatik dengan idolanya sehingga kerap merundung (bully) orang-orang yang membenci sosok idola pujaan (sama seperti pertikaian Cebong vs Kampret pada masa kampanye presiden silam). Ada yang rela merogoh kocek puluhan hingga ratusan juta rupiah demi mendapatkan tanda tangan sang idola dan menyambangi konser di negara manapun sang idola tersebut tampil. Pada kasus yang paling ekstrem, K-Popers mampu melukai diri sendiri ketika idola tercinta mereka mengalami sakit atau meninggal.

Namun di tahun 2020 ini, ketika pandemi Covid-19 memaksa banyak orang untuk mengalihkan sebagian besar aktivitas di depan layar gawai, pembicaraan berkaitan isu-isu sosial-politik di ranah maya selalu menjadi perhatian netizen, tak terkecuali para penggila budaya pop Korea. K-Popers yang biasanya mendominasi percakapan dunia maya tentang idola K-Pop tiba-tiba beralih membicarakan isu sosial-politik. Tak main-main, isu tersebut malah semakin besar dan menjadi perhatian khalayak setelah K-Popers terlibat dalam percakapan di dunia maya tersebut.

Di Amerika Serikat, K-Popers ikut bersuara di jagad maya dalam gerakan #BlackLivesMatter yang merupakan bentuk protes terhadap ketidakadilan berbasis ras yang disebabkan oleh kematian turunan Afrika-Amerika George Floyd. Tak hanya itu, K-Popers pun menyabotase kampanye Donald Trump dengan memborong banyak tiket untuk menghadiri kampanye tersebut, namun pada akhirnya ruangan tersebut terlihat sangat sepi. Jadwal kampanye tersebut berlangsung pada 19 Juni yang diperingati sebagai Juneteenth, hari libur nasional Amerika untuk mengenang pembebasan budak. K-Popers menilai Trump sama sekali tidak menghargai hari yang seharusnya sakral tersebut.

Di Indonesia, penolakan terhadap pengesahan UU Cipta Kerja juga melibatkan para penggemar K-Pop. Drone Emprit menyebutkan, percakapan tentang penolakan Omnibus Law justru didominasi oleh K-Popers. Bahkan para penggemar budaya pop Korea ini tak urung turun berdemonstrasi sambil membawa poster foto idola mereka.

Ketika K-Popers ‘Berpolitik’

K-Popers sering dinilai apatis terhadap isu-isu sosial. Cukup mengejutkan banyak pihak ketika pada tahun ini aktivitas percakapan para penggemar di ruang media sosial beralih membahas isu sosial-politik.

Secara demografis, K-Popers terdiri dari kaum muda yang merupakan digital natives sehingga sangat memahami penggunaan teknologi informasi dan bagaimana menyebarkannya hingga menjadi trending di dunia. Aktivitas-aktivitas yang terkait dengan fandom pun sebagian besar memang berlangsung di ranah media sosial seperti Twitter, Facebook, TikTok, dan Instagram yang merupakan homebase mereka.

Berbeda dengan basis penggemar lain seperti Beliebers (penggemar Justin Bieber), Swifties (penggemar Taylor Swift), The Beyhive (untuk Beyoncé), Little Monsters (Lady Gaga), hingga lainnya, para K-Popers kerap memiliki agenda pembicaraan yang konstan dan terarah di media sosial. Bentuk percakapan para K-Popers di dunia maya ini adalah upaya penggemar untuk menaikkan popularitas idola K-Pop mereka sehingga menjadi trending topic dunia, hingga mempengaruhi opini publik agar idola mereka bisa memenangkan penghargaan bergengsi.

Secara kultural, percakapan fandom K-Pop di media sosial telah memiliki pola yang rapi dan terorganisir sehingga memunculkan sebuah budaya verbal yang khas. Semua fans memiliki kesempatan yang sama dalam mengekspresikan opini mereka tentang K-Pop dan hal-hal lain yang mereka sukai.

Bagi salah seorang penggemar yang dinilai memiliki pengetahuan lebih dalam, tak jarang mereka bahkan menjadi ‘tutor’ bagi fans lainnya. Keterikatan mereka dalam ‘ideologi’ K-Pop ini pun sedemikian kuat. Satu post dari seorang K-Poper akan di-share semasif mungkin oleh K-Popers lainnya. Dalam konteks masifnya penolakan UU Cipta Kerja yang di-boost oleh percakapan para K-Popers, itu disebabkan karena masing-masing fans saling membagi, melengkapi, dan menambahkan apa yang mereka pahami tentang UU bermasalah ini.

Fenomena budaya kontemporer ini seperti yang disebut oleh Henry Jenkins dalam Participatory Culture, di mana terbentuk situasi yang cair antar anggota sehingga tingkat keterlibatan mereka (civic engagement) pun tinggi. Dengan demikian, pertukaran informasi pun kerap tak mengalami hambatan. Dalam budaya partisipasi ini pula setiap anggota ‘dituntut’ untuk berkontribusi. Maka dalam arus pertukaran informasi para K-Popers, tiap orang berperan sebagai konsumen sekaligus produser konten.

Cairnya relasi antara K-Popers yang didominasi oleh kaum muda ini menjadikan K-Popers suka menerima dan mempelajari hal baru. Mereka cenderung lebih toleran terhadap perbedaan, terutama mengenai topik yang berkaitan dengan empowerment dan self-confidence. Pesan-pesan yang ditampilkan dalam lagu-lagu K-Pop banyak mengusung tema self-love. Maka dari itu, perempuan dan people of color kerap menjadi K-Popers sebab dua grup ini merupakan grup yang paling sering mendapat prasangka tentang tubuhnya.

Tak heran jika pada akhirnya K-Popers pun terdorong untuk memperhatikan isu-isu kemanusiaan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Dorongan itu pun semakin besar apabila tokoh idola mereka pun mencontohkan. Ketika boyband Korea BTS memberi donasi sebesar US$ 1 miliar untuk gerakan #BlackLivesMatter, dalam waktu 24 jam para ARMY (sebutan penggemar BTS) pun berhasil mengumpulkan donasi dengan jumlah yang sama untuk membantu gerakan BLM.

Sinergi Budaya Populer dan Politik

Meniadakan keterlibatan budaya populer kontemporer dengan aktivitas politik adalah suatu hal yang tak mungkin. Selama ini justru budaya populer selalu menjadi salah satu alat untuk menarik partisipasi pemilih dan meningkatkan elektabilitas partai/politisi. Contoh teranyar adalah pencitraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menggambarkan dirinya sebagai sahabat para kaum muda yang mengerti teknologi. Jokowi telah beberapa kali mengundang para influencer media sosial dan pemilik start-up teknologi ke istana.

Budaya pop secara tersirat dan tersurat sering menjadi medium untuk penyampaian aspirasi politik lewat lirik-lirik lagu, bait puisi, hingga film. Dengan berkembang pesatnya penyebaran pesan yang didorong oleh kecanggihan teknologi informasi, setiap orang kini dapat terlibat aktif dalam persoalan-persoalan sosial-politik lewat pembuatan konten kreatif seperti video YouTube dan TikTok, memes, foto-foto di Instagram dan Pinterest, novel, hingga artikel blog.

Konten budaya pop adalah sarana terbaik dalam penyebaran pengetahuan tentang politik, sebab jangkauan khalayak akan lebih besar terutama karena budaya pop akan selalu memiliki penggemar. Pengetahuan politik yang disebarkan oleh, dari, dan untuk penggemar budaya pop jauh lebih efektif dan tetap sasaran.

Apa yang dilakukan para K-Popers di tahun ini merupakan salah satu bentuk gerakan sosial-politik di media sosial yang berlangsung damai dan kreatif. Gerakan ini juga memberikan hikmah bahwa siapa saja bisa melawan kesewenangan para penguasa, termasuk para ARMY dan Blink yang berubah menjadi pasukan pembela hak asasi manusia di media sosial.

*Photo Cover sources from Diadona.id