Spiral Kesunyian dalam WhatsApp Group

Bunyi bip pelan terdengar dari telepon genggam, pertanda ada pesan yang masuk. Begitu dibuka, terdapat notifikasi pembicaraan dari WhatsApp Group (WAG). Di antara semua percakapan dari instant messenger, WAG bisa dikatakan yang paling ramai. Hampir 24/7 selalu saja ada pesan yang muncul, entah untuk saling bertukar kabar hingga membagikan sejumlah teori konspirasi yang berujung pada perdebatan kusir.

Setiap saat pula selalu saja ada anggota WAG yang membagikan tautan informasi dari link media sosial. Sayangnya tak semua anggota memiliki literasi digital sehingga sulit membedakan informasi palsu/hoax dengan informasi yang benar. Akibatnya informasi sejenis fake news, ujaran kebencian, dan sentimen bernuansa SARA berseliweran dalam WAG setiap harinya.

Jika sudah begini, WAG menjelma menjadi ekosistem paling beracun (toxic) karena sering berakhir pada keributan akibat perbedaan pendapat, dan perasaan bahwa informasi yang disebarkan tersebut merupakan sebuah kebenaran mutlak yang tak bisa dibantah. Tidak ada ruang untuk diskusi rasional dan upaya untuk mencari tahu lebih dalam mengenai kebenaran informasi.

Hoax yang Begitu Memperdaya

Meski beragam himbauan, kampanye, dan jenis persuasi lainnya sudah terlalu sering digalakkan agar pengguna media sosial tak terperdaya oleh hoax, tetap saja penyebarannya seakan tak terkendali. Salah satu faktor masifnya penyebaran berita palsu adalah ketiadaan algoritma media sosial dalam mendeteksi bahasa non-Inggris ketika suatu konten mengandung hoax (Obserf, 2021)

Hal ini semakin diperparah dengan kurangnya literasi media digital banyak pengguna sehingga tidak memiliki sensitivitas atau pengetahuan untuk membedakan informasi yang benar dan palsu. Ketidakinginan untuk membaca, mencari tahu lebih jauh, hingga mengontradiksi informasi satu dengan yang lainnya juga tidak ada. Dengan demikian, hoax begitu saja diterima bahkan diteruskan ke pengguna lainnya.

Faktor lain yang juga menyebabkan maraknya penyebaran hoax adalah identity belonging, perasaan di mana suatu ideologi atau kepercayaan tertentu telah melekat menjadi identitasnya. Psikolog Jay Van Bavel dari New York University mengungkapkan, entitas suatu partai politik tertentu, suku, dan agama merupakan elemen esensial dalam membangun identitas diri.

Oleh sebab itu, suatu informasi yang bertentangan dengan apa yang diyakini akan dianggap sebagai ancaman yang dapat membahayakan identitas tersebut, meski informasi yang bertentangan tersebut pada dasarnya tidak benar. Maka pada akhirnya muncul fanatisme buta terhadap suatu kepercayaan atau ideologi. Segala hal terlihat salah meskipun ideologi tersebut dipertentangkan dengan argumen yang rasional.

Spiral Kesunyian yang Mengunci Pendapat Rasional dalam WhatsApp Group

Pada dasarnya, WhatsApp Group bukan merupakan echo chamber, sebuah ruang di mana setiap anggotanya terdiri dari orang-orang yang sepaham dan memiliki ide, pemikiran, ideologi, dan kepercayaan yang sama (Dubois & Blank, 2018). WAG merupakan sebuah ruang maya yang mempersatukan orang-orang karena keharusan atau kewajiban tertentu: pekerjaan, urusan pendidikan, atau aliran darah (keluarga). Oleh karenanya, tak dapat dinafikan jika tiap anggota pasti memiliki ideologi dan pandangan berbeda terhadap suatu isu.

Adanya penyebaran hoax dan ujaran kebencian dalam WAG pastinya akan memunculkan perasaan tak nyaman bagi anggota lain yang ekspektasinya telah dilanggar. Ketika informasi hoax lebih menguasai percakapan dalam grup, anggota yang memiliki keinginan untuk meluruskan informasi akan dibisukan sehingga mau tak mau harus mengikuti pendapat mayoritas dalam grup yang berdasarkan pada informasi hoax tersebut, atau lebih baik diam (Noelle-Neumann, Spiral of Silence, 1993; Irving Janis, Groupthink, 1982).

Dengan demikian, tak ada lagi ruang untuk berdiskusi dengan argumen-argumen rasional, atau dengan menggunakan narasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebab kalimat-kalimat yang terbangun didasarkan pada sentimen primordial yang tidak mengedepankan logika dan fakta.

Tinggalkan Grup Yang Toxic

Sejatinya WhatsApp Group bukanlah ruang untuk penyebaran ideologi, kecuali jika memang grup tersebut sengaja dibuat untuk tujuan ideologis. Jika hanya sebagai salah satu medium untuk mempererat kekerabatan, silaturahmi antar-keluarga, dan memudahkan akses komunikasi untuk urusan pendidikan/pekerjaan, tidaklah elok jika grup ini dimanfaatkan untuk menyebarkan suatu informasi yang berpotensi mendapat resistensi dari anggota lainnya. Apalagi jika konten informasi tersebut berisi kebohongan yang tak dapat dipertanggungjawabkan.

Jika pun sudah tidak ada lagi pembicaraan yang dapat dibangun secara rasional dalam sebuah WAG, sebenarnya tak ada lagi alasan untuk tetap bertahan dalam lingkungan percakapan tersebut hanya karena alasan tidak enak dengan saudara atau bos di kantor. Ketika dibiarkan berlarut-larut, yang ada malah muncul isu lain seperti kerusakan mental atau putusnya silaturahmi akibat salah berucap.

Just leave group when you consider it as toxic!

Diterbitkan oleh Elle Zahra

Graduated from Communication Science of University of Indonesia, both in bachelor and master degree. Media observer and media literacy activist. Concern in digital society related to political communication, feminism, and culture issues.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: