Menilik Cawapres Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno

Keputusan Joko Widodo (Jokowi) untuk memilih Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma’ruf Amin sebagai cawapres memberikan surprise yang tak disangka-sangka. Pasalnya hingga detik-detik terakhir pun masih santer terdengar kabar jika Mahfud MD lah yang akan mendampingi Jokowi. Bahkan Mahfud sudah menyiapkan sejumlah dokumen untuk pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum.

Politik memang kasar dan kejam. Karena itu tak ada lawan dan kawan yang abadi dalam politik. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) secara eksplisit menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Mahfud karena dianggap telah meninggalkan PKB saat Pemilu 2014 silam. Mahfud kala itu sudah digadang sebagai calon presiden PKB. Namun PKB akhirnya mendukung Jokowi. Mahfud yang kecewa kemudian malah menjadi ketua tim sukses Prabowo-Hatta Rajasa.

Bisa jadi Mahfud adalah pilihan utama Jokowi untuk mendampinginya. Namun Jokowi juga tidak bisa kehilangan PKB yang berafiliasi kuat dengan Nadhlatul Ulama (NU) sebagai basis massa umat Islam terbesar di Indonesia. Selama ini citra Jokowi kerap diidentikkan sebagai sosok yang anti-Islam karena membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia dan seakan membiarkan kriminalisasi terhadap para ulama. Selain itu masih ada pula tudingan sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI). Karenanya dukungan tokoh Islam sangat penting agar Jokowi masih bisa melanjutkan kepemimpinannya lima tahun mendatang.

Ma’ruf merupakan sosok yang tidak ‘membahayakan’ koalisi partai politik Jokowi. Selain itu, sebagai salah satu bagian dari NU, Ma’ruf juga pastinya mendapat restu dan dukungan terbesar dari PKB. Bahkan beliau sendiri mengakui pilihan Jokowi tidak akan jatuh pada dirinya seandainya tidak diperjuangkan oleh Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.

Drama Prabowo-Sandiaga

Bisa dikatakan jika ‘drama’ mencari cawapres Prabowo adalah yang paling sering diliput oleh media, terutama televisi. Usaha Prabowo membangun koalisi dengan Partai Amanat Nasional (PAN) dan Demokrat sempat menggoyangkan kemesraan Gerindra dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), apalagi Demokrat mendekat karena ingin menawarkan sang putra ketua umum, yakni Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres.

Demokrat yang tiba-tiba saja masuk dengan menawarkan AHY tentunya bisa merusak keharmonisan komunikasi politik yang sudah terjalin antara Gerindra-PKS sejak pemilu 2014. Apalagi hanya PKS yang tetap setia menjadi koalisi Gerindra ketika partai-partai pendukung Prabowo lainnya memutuskan ikut bergabung mendukung Jokowi. Memilih Sandiaga Uno bisa menjadi alternatif terbaik untuk tetap menunjukkan loyalitas Gerindra terhadap PKS.

Sayangnya keterpilihan Sandiaga sebagai cawapres Prabowo dibayangi isu politik transaksional yang mengatakan Sandiaga harus membayar mahar politik sebesar Rp 500 Miliar masing-masing kepada PAN dan PKS. Dugaan transaksi politik ini membuat berang Demokrat karena menjadikan AHY tak lagi dilirik sebagai cawapres Prabowo. Sikap ini pula yang akhirnya menjadikan Demokrat untuk tidak memberikan dukungan pada Prabowo.

Sentimen Netizen Terhadap Ma’ruf dan Sandiaga

Jagad maya dipenuhi obrolan tentang para cawapres yang mendampingi Jokowi dan Prabowo. Di Twitter, percakapan tentang Ma’ruf cukup mendominasi dibandingkan Sandiaga. Ma’ruf menjadi perbincangan di Twitter tidak hanya oleh akun-akun netizen Indonesia, melainkan juga dari luar negeri.

Cuitan warga net di Twitter tentang Ma’ruf Amin cukup banyak menuai sentimen negatif, terutama dari para pemilik akun koresponden kantor berita asing yang meliput berita di regional Asia Tenggara. Mereka menilai sosok Ma’ruf sebagai orang yang intoleran karena menjadi penyebab dipenjaranya Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) atas tuduhan penistaan agama. Selain itu Ma’ruf juga terang-terangan menolak LGBTQ (lesbian, gay, biseksual, transgender, queer) dan dinilai bertanggung jawab atas kekerasan yang menimpa jama’ah Ahmadiyah.

Sedangkan obrolan tentang Sandiaga memang tidak sebanyak Ma’ruf. Namun sentimen terhadap Sandiaga lebih netral. Persoalan dugaan mahar politik yang dibayar oleh Sandi tidak mendominasi percakapan di Twitter. Kebanyakan netizen justru merasa senang dengan keterpilihan Sandiaga mendampingi Prabowo.

Perang di Media Sosial Saat Masa Kampanye

Memilih Ma’ruf sebagai cawapres mungkin bisa menghindarkan Jokowi dari sentimen negatif keagamaan. Sosok Sandiaga pun bisa menjadi upaya terbaik Prabowo untuk mendapatkan suara pemilih generasi milenial yang mencapai hampir 40% dari total pemilih. Namun ‘perang’ konten dan penyebaran hoax di jagad maya tetap tak akan terhindarkan.

Karena Ma’ruf, konten-konten terkait intoleransi terhadap golongan minoritas menjadi salah satu kampanye negatif yang akan dihadapi Jokowi. Oleh sebab Sandiaga pula, Prabowo akan menghadapi pendukung militan Ahok yang siap membongkar ‘kejelekan’ Sandiaga selama memimpin ibukota sebagai wakil gubernur. Namun Penulis perkirakan, perang di ranah internet tidak akan separah yang pernah terjadi pada Pemilu 2014 silam.

Prediksi Cawapres Untuk Jokowi dan Prabowo

Masa pendaftaran calon presiden dan wakil presiden tinggal menghitung hari. Fokus pemberitaan media tertuju pada dua calon yang digadang akan menjadi presiden pada periode 2019-2024 mendatang, yakni petahana Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Keduanya pernah bertarung pada Pemilu 2014 silam. Kini publik menanti siapa sosok yang akan mendampingi mereka memimpin negeri ini lima tahun mendatang.

Baik kubu Jokowi dan Prabowo masih belum membuka kartu cawapres karena masing-masing tidak ingin manuver politiknya begitu cepat diketahui lawan, sehingga memungkinkan oposisi cepat mencari kelemahan pasangan. Koalisi politik masih begitu cair. Bahkan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman mengungkapkan kemungkinan terbentuknya poros ketiga jika ada salah satu partai pendukung Jokowi yang memutuskan keluar dari koalisi.

Sikap PKS yang biasanya tampak mesra dengan Gerindra yang dipimpin Prabowo bisa jadi merupakan refleksi atas merapatnya Partai Demokrat untuk mendukung pencalonan Prabowo. Tentu saja dalam politik tidak ada makan siang gratis. Meski Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyerahkan keputusan pemilihan cawapres pada Prabowo, tetap saja Demokrat terlihat bersemangat mengusung Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk mendampingi Prabowo. Tawaran ini tak bisa begitu saja diabaikan karena secara perolehan kursi di DPR, Demokrat memiliki lebih banyak kursi dibanding PKS. Selain itu elektabilitas AHY termasuk yang tertinggi dalam bursa cawapres yang dibuat oleh beragam lembaga survei.

Kemungkinan Poros Ketiga

Kemesraan Gerindra-PKS yang selama ini selalu kompak menjadi oposisi pemerintah tampaknya mulai merenggang. Ditambah lagi pemberitaan media yang menambah gaduh suasana dengan membentuk opini publik tentang beralihnya perhatian Prabowo dari nama-nama yang ditawarkan PKS sebagai cawapres akibat masuknya Demokrat sebagai pendukung Prabowo. Tak heran jika pada akhirnya PKS ingin mengambil sikap dengan membentuk poros ketiga jika memang memungkinkan.

Keinginan PKS untuk membentuk poros ketiga bersama dengan Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tampaknya akan sukar terwujud. Pasalnya, ketiga partai tersebut tidak memiliki tokoh yang elektabilitasnya mampu menandingi Jokowi dan Prabowo. Jika poros ketiga tetap ‘dipaksa’ terwujud, dapat dipastikan partai-partai ini akan mengalami kekalahan pada Pemilu 2019.

Tidak ada pilihan lain bagi tiga partai tersebut selain berkoalisi dengan poros yang sudah ada. Kader PKS masih memiliki harapan untuk dilirik sebagai cawapres oleh Prabowo karena salah satu kadernya, yakni Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al Jufri mendapat dukungan kuat dari para ulama untuk mendampingi Prabowo. Pun nama Ahmad Heryawan yang merupakan Gubernur Jawa Barat dua periode (2008-2018) merupakan salah satu kandidat cawapres menjanjikan karena besarnya basis dukungan PKS di provinsi dengan pemilih terbanyak di Indonesia ini.

Menerawang Sosok Cawapres Dua Kubu

Sejak Pilkada DKI Jakarta 2018 silam yang menetapkan petahana Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) sebagai terdakwa kasus penistaan agama, politik identitas keislaman menguat di kalangan para pemilih Islam yang merupakan mayoritas. Aktivitas di media sosial juga mulai banyak yang ‘mengilhami’ warga net lainnya untuk memilih calon pemimpin yang saleh dan religius dari kalangan Islam.

Jokowi dan Prabowo merupakan personifikasi dari kalangan nasionalis yang mampu merangkul semua kalangan masyarakat. Namun dengan menguatnya sentimen keagamaan pada pemilu mendatang, akan lebih aman jika Jokowi dan Prabowo memilih pendamping yang merupakan tokoh Muslim. Apalagi sejak Pemilu 2014 lalu hingga saat ini, Jokowi belum terlepas dari dugaan sebagai tokoh yang anti-Islam. Memilih tokoh Islam sebagai cawapres merupakan salah satu upaya untuk meredakan kemungkinan adanya kampanye bernuansa SARA.

Selain Islam dan memiliki pribadi yang shaleh, serta memiliki kesamaan pandangan kebangsaan dengan calon presidennya, cawapres yang kelak mendampingi Jokowi dan Prabowo haruslah memiliki kriteria berikut:

  1. Telah memiliki pengalaman pemerintahan agar mampu  membantu meningkatkan kinerja presiden terpilih. Dengan adanya pengalaman tersebut akan memudahkan cawapres terpilih untuk beradaptasi dengan lingkungan kerja pemerintahan pusat.
  2. Berasal dari Indonesia bagian timur/tengah agar pasangan capres-cawapres mampu meraup suara di semua bagian Indonesia. Tidak bisa dipungkiri jika basis kedaerahan juga merupakan salah satu alasan voter memilih calon pemimpinnya. Dengan adanya wakil dari Indonesia tengah/timur, pasangan capres-cawapres berpeluang untuk mendapatkan banyak suara di daerah-daerah lain.
  3. Merupakan sosok populer yang disenangi oleh masyarakat sehingga semakin meningkatkan elektabilitas Jokowi dan Prabowo. Sosok cawapres tersebut harus memiliki track record baik agar nantinya tidak memunculkan sensasi yang mampu menurunkan elektabilitas Jokowi dan Prabowo.
  4. Diterima dengan baik oleh kalangan pemilih non-Muslim. Artinya sosok cawapres tersebut tidak terlalu fanatik dengan keislamannya sehingga bisa ikut merangkul kalangan pemilih non-Muslim.

Berdasarkan empat kriteria yang dijabarkan tersebut, Penulis mengusulkan nama Muhammad Zainul Majdi (Tuan Guru Bajang/TGB) sebagai pendamping Jokowi, dan Salim Segal Al Jufri sebagai cawapres Prabowo. Baik TGB dan Salim Segaf merupakan sosok yang memiliki keempat kriteria yang disebutkan tersebut. Penerimaan dan dukungan masyarakat terhadap keduanya pun sangat tinggi.

Jika Salim Segaf menjadi cawapres Prabowo, koalisi yang sudah terjalin kuat antara Gerindra-PKS akan semakin kokoh. Ini juga akan menunjukkan loyalitas Gerindra terhadap PKS yang tetap setia di saat koalisi partai lain malah pergi meninggalkan Gerindra dan PKS.

Sedangkan TGB memang merupakan kader dari Partai Demokrat. Namun karena TGB bukan merupakan tokoh sentral Demokrat seperti AHY, potensi terpilihnya TGB untuk mendampingi Jokowi cukup besar. Apalagi TGB lebih dikenal sebagai tokoh Muslim berpengaruh ketimbang sebagai kader Demokrat.

Bisnis Hoax Para Buzzer

Persaingan politik yang kian memanas jelang Pemilu 2019 mengharuskan tiap kubu untuk mulai mengambil langkah strategis demi mengamankan kemenangan posisi politik. Langkah tersebut tidak hanya dipersiapkan oleh para kontestan pemilu seperti calon legislatif, pengurus partai politik, hingga calon presiden dan wakil presiden, melainkan juga para pendukung dan simpatisan politik yang nanti akan menjadi pemilih di pesta demokrasi tahun depan.

Tak dapat dipungkiri jika penggunaan internet merupakan salah satu medium yang paling aktif untuk menyebarkan pesan kampanye politik. Ketika secara offline diterapkan masa tenang sebelum hari-H pemilihan, dunia maya masih terus ramai dengan kicauan-kicauan politik, bahkan hingga proses pemilihan telah usai. Dengan demikian, kampanye tetap terus berlanjut.

Media sosial telah menjadi salah satu platform kampanye krusial yang tak boleh diabaikan. Tak heran jika pada akhirnya, partai politik dan politisi berebut untuk menciptakan citra yang baik lewat akun-akun media sosial yang memiliki pengaruh  besar di kalangan netizen, dengan kata lain memanfaatkan para buzzer.

Buzzer media sosial adalah akun yang memiliki pengaruh dan otoritas di kalangan para netizen untuk menciptakan sebuah topik pembicaraan di media sosial. Meskipun acapkali buzzer diidentikkan dengan jumlah followers yang banyak, standar keberhasilan percakapan yang dibuat oleh buzzer dilihat dari seberapa sering percakapan tersebut disebarkan oleh para pengguna media sosial lainnya. Jumlah followers memang dapat mempengaruhi banyaknya penyebaran pesan, namun tak selalu menjadi tolak ukur utama.

Bisnis Buzzer Untuk Menyebarkan Hoaks

Riuhnya penggunaan buzzer pada saat kampanye pada akhirnya memunculkan persaingan antara partai politik dan sejumlah politisi. Masing-masing ingin mengungguli yang lain, sehingga konten kampanye di media sosial pun dimanipulasi untuk menyebarkan kebohongan dan ujaran kebencian.

Wawancara kantor berita Inggris The Guardian dengan salah satu mantan buzzer politik Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) pada saat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 silam cukup menggambarkan gempita bisnis penggunaan buzzer untuk mendongkrak citra dan popularitas politisi, sekaligus pula untuk menjatuhkan lawan politik.

Para buzzer diminta untuk membuat beragam akun media sosial palsu untuk memperbanyak dan mengefektifkan penyebaran pesan politik. Agar semakin menarik minat pengguna media sosial lainnya, tak jarang akun tersebut menampilkan foto perempuan cantik yang dapat mendongkrak jumlah pengikut di akun media sosial.

Konten terkait suku, agama, dan ras merupakan isu yang paling laris ditulis buzzer pada saat kampanye politik. Isu-isu ini dapat menumbuhkan sentimen negatif terhadap partai politik dan politisi tertentu sehingga memunculkan rasa tidak suka hingga kebencian terhadap figur tersebut.

Penyebaran pesan kebencian dan hoax menjadi salah satu bisnis yang paling menguntungkan. Buzzer penyebar hate speech ini bisa meraup keuntungan Rp 700 juta per tahun hanya dengan memproduksi konten-konten negatif di sejumlah akun media sosial palsu. Bahkan supply and demand dalam bisnis penyebaran kabar hoax ini mirip dengan peredaran narkotika yang memiliki penjual dan pelanggan. Situs Saracen yang diblokir oleh pemerintah adalah contoh dari maraknya bisnis penyebaran berita palsu yang menggunakan isu agama.

Target Para Buzzer

Sasaran utama dari para buzzer penyebar hoax  dan ujaran kebencian ini bukanlah kalangan generasi muda (Millenials dan Generasi Z) yang sudah akrab dengan penggunaan dan penerapan teknologi sebagai medium komunikasi utama, melainkan para Generasi X yang merupakan digital immigrants yang lahir sebelum kemunculan komunikasi digital dan saat ini masih beradaptasi menggunakan teknologi komunikasi digital.

Pengamat komunikasi digital Universitas Indonesia Firman Kurniawan mengatakan, para digital immigrant ini umumnya merupakan tokoh panutan yang mampu menggiring opini publik. Ketika pesan bernuansa kebencian dan kebohongan turut disebarkan oleh mereka, maka orang-orang yang mengagumi dan mencontoh mereka akan ikut pula mengamini pesan kebohongan tersebut.

Langkah-langkah Bijak yang Dapat Ditempuh

Audiens memiliki preferensi khusus dalam mencari dan memilih berita yang ingin mereka ketahui. Namun secara umum, preferensi tersebut haruslah memiliki dua prinsip. Pertama, konten berita tersebut harus tampak nyata dan lekat dengan kehidupan sehari-hari. Intinya berita tersebut mengandung informasi yang tidak lebay dan ‘memungkinkan’ untuk terjadi pada kehidupan yang sebenarnya.

Hanya saja sebuah berita tidak akan tampak menarik jika tidak memiliki prinsip yang ke-2 ini, yakni adanya tambahan ‘bumbu’ dan ‘aksesoris’ pada konten berita yang membuat audiens tertarik terhadap isi informasi tersebut. Meski demikian, bumbu dan aksesoris ini tetap harus mencerminkan realita masyarakat yang sebenarnya (W. James Potter, 2013).

Audiens memiliki potensi terpapar hoax dikarenakan konten berita palsu memiliki dua prinsip tersebut yang memungkinkan orang-orang terus ‘menikmati’ dan mengkonsumsi informasi bohong tersebut. Konsumsi informasi hoax ini kemudian berubah menjadi hasrat sehingga audiens menjadi candu untuk terus terpapar konten berita palsu (Edward Steers Jr, 2013).

Walau berita palsu dan ujaran kebencian tampaknya tidak dapat dihilangkan, ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk meminimalisir dampak penyebaran hoax dan hate speech yang disebarkan para buzzer.

  1. Jangan pernah menjadikan informasi dari media sosial sebagai sumber informasi utama.

Setelah kita ketahui adanya bisnis buzzer dengan akun palsu yang menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian, jangan pernah lagi percaya dengan segala berita yang disebarkan melalui akun media sosial. Pastikan informasi tersebut berasal dari sumber yang terpercaya, seperti kantor berita yang telah memiliki kredibilitas (ANTARA, Kompas, CNN, dan lain-lain) karena kantor berita memiliki mekanisme pertanggungjawaban atas informasi yang mereka sebarkan.

  1. Konfirmasi kebenaran informasi dengan membandingkan isinya dengan sumber yang lain.

Jangan hanya berhenti membaca dari satu sumber. Cek lagi kesamaan isi berita dari sumber lain. Jika banyak sumber mengatakan hal yang sama, bias dipastikan jika berita tersebut benar. Namun sekali lagi yang perlu ditekankan, sumber tersebut harus memiliki kredibilitas yang baik.

  1. Jangan turut menyebarkan informasi kepada orang lain jika Anda sendiri masih ragu dengan kebenarannya.

Lagi-lagi, jika kebenaran informasi belum diverifikasi, jangan pernah menyebarkan informasi kepada orang lain karena berarti Anda turut andil dalam menyebarkan kebohongan. Masalahnya, penyebaran informasi hoax dan hate speech tetap saja marak karena sifat audiens Indonesia yang malas membaca, namun di satu sisi ingin dianggap sebagai orang yang pertama tahu mengenai suatu berita. Akibatnya tanpa verifikasi, informasi langsung saja disebarkan tanpa kejelasan kebenaran.

  1. Jangan malas membaca dan mencari informasi.

Kunci penting dalam penerapan literasi media adalah dengan rajin membaca dan terus mencari informasi sampai kebenaran informasi dapat dibuktikan.

 

Cegah Anak Dari Radikalisme

Selama bulan Mei dalam sepekan, tujuh kejadian terkait terorisme mengguncang republik ini. Yang paling mengejutkan, peristiwa pengeboman di Surabaya pada Minggu (13/5) dan Senin (14/5) melibatkan peran serta satu unit keluarga, termasuk menjadikan anak-anak (yang dapat dikategorikan di bawah umur) sebagai bagian dari aksi pengeboman tersebut.

Mungkinkah pemikiran anak-anak yang masih berusia sangat muda tersebut sudah diinfiltrasi oleh paham radikal? Adakah peran orang tua yang secara langsung malah aktif menyuntikkan konsep-konsep jihad radikal pada anak? Bisakah sang anak di usia yang masih begitu belia tersebut menerima ‘pengajaran’ untuk meledakkan dirinya sendiri dengan bom?

Kaum Muda dan Radikalisme

Masa kanak-kanak dan remaja merupakan masa yang penuh dengan kerentanan dan resiko, karena pada tahap ini manusia mempelajari kondisi lingkungan sosial sekaligus pendefinisian dirinya. Maka dari itu, lingkungan sosial tempat anak tumbuh dan dibesarkan berkontribusi besar bagi pembentukan pola pikir dan penetapan jati diri.

Kehadiran dunia maya, utamanya media sosial seperti Facebook, Twitter, dan YouTube, akan semakin banyak mempengaruhi persepsi kaum muda. Apalagi jika mereka merupakan audiens aktif dengan tingkat paparan media yang tinggi, maka realitas yang mereka yakini sebagai kebenaran adalah seperti apa yang mereka saksikan di media sosial.

Pakar psikologi forensik Reza Indragiri pada wawancaranya di stasiun televisi CNN Indonesia pada Senin (14/5) malam lalu mengatakan, anak pada dasarnya mudah mengikuti apa saja yang diajarkan padanya. Jika anak kerap mengikuti konten-konten terkait paham radikal yang mudah dia dapatkan di media sosial, dengan serta merta anak akan langsung meradikalisasi dirinya sendiri.

Sejak awal penelitian yang diprakarsai oleh The Payne Fund Studies di Amerika Serikat pada tahun 1930an hingga era digital saat ini menunjukkan, anak-anak (yang menjadi objek penelitian) memang sangat mudah terpengaruh oleh konten media yang mengandung unsur kekerasan.

Ditambah lagi ketika konten-konten tersebut kerap disusupi pesan radikal yang mengandung ujaran kebencian terhadap agama, ideologi, dan ras tertentu. Tanpa disadari, si anak telah terpapar pesan-pesan radikalisme yang akhirnya membentuk kepribadiannya.

Kenali Persoalannya

Kaum muda (termasuk anak-anak) jaman now tak dapat dipisahkan dari perangkat teknologi informasi, utamanya telepon pintar dan penggunaan media sosial. Padahal media sosial hari ini menjadi medium perekrutan dan penyebaran paham radikal oleh organisasi teroris.

Riset dari Universitas Oxford pada 2015 mengkonfirmasi, penggunaan media sosial adalah aktivitas utama bagi kaum muda, terutama bagi mereka dengan rentang usia 16-24 tahun. Kebiasaan ini diketahui dan dimanfaatkan dengan baik oleh organisasi teroris seperti ISIS untuk melakukan perekrutan. Facebook, Twitter, dan YouTube adalah medium yang paling sering dipakai untuk perekrutan dan penyebaran paham radikal.

Pesan yang telah disusupi paham radikal tersebut mengena pada pola pikir dan keseharian kaum muda sehingga mereka merasa tertarik dan terpersuasi dengan isi pesan tersebut. Dengan demikian, mereka berkehendak dengan sukarela mengikuti paham radikal tersebut.

Namun apa yang menyebabkan mereka mengamini pesan radikal tersebut?

Laporan dari Parliamentary Assembly Council of Europe pada 2016 silam mengungkapkan, kecenderungan utama yang menyebabkan anak-anak dan kaum muda mudah disusupi pesan radikal adalah karena adanya diskriminasi sosial yang mereka rasakan dalam lingkungan masyarakat.

Perlakuan berbeda yang dirasakan oleh anak akan cenderung membuatnya membenci keadaan dan orang-orang yang memperlakukannya secara berbeda. Ketika merasa diperlakukan berbeda, anak akan cenderung mencari cara atau komunitas tertentu yang membuatnya bisa diterima, di mana dia bisa berkontribusi dalam komunitas tersebut tanpa memandang latar belakangnya.

Dari kondisi seperti inilah pesan-pesan radikalisme dapat dimasukkan secara mudah pada anak. Apalagi internet dan media sosial merupakan salah satu medium pelepasan emosi. Begitu anak mencuit kemarahannya terhadap diskriminasi masyarakat di Twitter, ataupun meng-update kegundahannya di Facebook, perasaan si anak sudah diketahui oleh semua orang di jagad dunia maya, termasuk para perekrut teroris. Cukup dengan menyisipkan satu-dua pesan ujaran kebencian terhadap masyarakat di akun media sosial, anak-anak akan terikut dengan ajakan dan hasutan pesan radikal tersebut.

Lakukan Pencegahan

Penelitian psikologi perkembangan anak dari Swiss Jean Piaget mengungkapkan, proses pengolahan informasi pada anak baru mengalami kematangan hingga usia 12 tahun. Hingga usia itu, anak membutuhkan orang tua yang mengajarkan benar dan salah, serta memfilter informasi bagi anak.

Berkembang pesatnya teknologi informasi pada masa ini justru membuat sebagian orang tua ketinggalan dari anak-anaknya. Maka dari itu, orang tua diharapkan untuk mengerti tentang cara penggunaan teknologi informasi agar dapat memantau aktivitas penggunaan media anak.

Beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua agar anak terhindar dari bahaya konten radikal antara lain sebagai berikut (W. James Potter, 2013):

  1. Lakukan pendampingan

Di usia enam bulan, anak bahkan sudah mulai bisa menonton televisi. Pendampingan orang tua sangat diperlukan dalam segala aktivitas konsumsi anak, baik itu ketika anak menonton tayangan televisi, ataupun anak mengakses internet seperti menonton video dari YouTube.

Keuntungan dari pendampingan ini adalah orang tua bisa segera mencegah dan melarang anak jika ada tayangan-tayangan yang tidak sesuai dengan kondisi usia anak. Selain itu, pendampingan juga bisa menguatkan ikatan emosional antara anak dan orang tua.

  1. Ajak anak berdiskusi tentang konten yang dibaca/tonton

Diskusi dan mengajak anak mengobrol ketika anak menonton video atau membaca sebuah buku dapat menjadi salah satu sarana untuk menyisipkan pesan-pesan moral yang baik, sekaligus untuk mengeksplor sejauh mana kemampuan berpikir anak.

  1. Tegas membuat batasan

Sebagai orang tua harus memberikan batasan pada pola konsumsi media anak. Misalnya dalam sehari hanya boleh menonton televisi paling lama 2 jam, membatasi tontonan seperti apa yang boleh diakses anak di YouTube, melarang anak bermain video game sebelum pekerjaan rumahnya selesai, dan lainnya.

Kesimpulan

Mencegah anak dari bahaya radikalisme bukanlah pekerjaan rumah yang mudah. Yang paling dibutuhkan adalah peran aktif orang tua dalam pendampingan segala aktivitas konsumsi media anak. Selain itu, kesadaran masyarakat pun perlu ditingkatkan agar lebih mempedulikan kondisi lingkungan tempat anak berada agar tidak mengikuti gerakan-gerakan radikal.

Konten-konten media yang banyak tersebar pada saat ini tidak semuanya mengandung kebenaran. Karena itu, orang tua harus belajar meliterasi dirinya terhadap informasi yang bersilewaran untuk mengasah kebijakan dalam bermedia. Dengan demikian, orang tua pun dapat mengajarkan literasi media yang benar pada anak.

Kejamnya Netizen!

Perundungan (cyberbullying) yang menimpa selebriti aplikasi Tik Tok, Bowo Alpenliebe, di dunia maya sontak harus membuat sang ibunda terpaksa berhenti bekerja demi melindungi anaknya. Sang ibu takut jika para haters yang kerap menghujat Bowo di dunia maya benar-benar nekat mencelakakan sang buat hati.

Bowo memiliki ratusan ribu pengikut karena postingan videonya di aplikasi Tik Tok. Sayangnya karena aplikasi ini memiliki menu filter untuk membuat tampilan semakin keren, banyak para netizen Indonesia yang kecewa karena ternyata penampilan asli Bowo tidak seganteng yang ada di video.

Ditambah lagi pada saat perhelatan jumpa fans Bowo yang mengharuskan merogoh kocek sebesar Rp 80-200 ribu demi berfoto bersama Bowo, banyak juga yang menudingnya jumawa. Padahal menurut pengakuan Bowo, sepeser pun dia tidak mengambil hasil pembayaran tiket dari acara jumpa fans tersebut.

Nyatanya Bowo hanya seorang bocah berusia 13 tahun biasa yang masih polos dan kekanakan. Namun komentar jahat dan pedas yang dilontarkan warganet padanya sudah tidak bisa ditolerir lagi. Komentar-komentar tersebut dapat mengganggu psikologis tumbuh kembang anak.

Dalam beberapa kasus yang ekstrim, korban perundungan di media sosial bahkan bisa melakukan aksi bunuh diri lantaran tidak tahan menerima cacian dan makian yang bertubi-tubi. Kasus yang sempat heboh di tanah air adalah perundungan Sonya Depari.

Sonya adalah siswa SMA yang memaki-maki Polwan saat ditilang dan mengatasnamakan dirinya sebagai anak jenderal. Video rekaman peristiwa penilangan Sonya saat itu langsung viral di dunia maya dan menjadi sasaran komentar kebencian warganet. Akibat kekejaman komentar-komentar tersebut, ayah Sonya Depari meninggal akibat tidak tahan dengan komentar yang menjelekkan anaknya.

Apa dan Mengapa Merundung di Media Sosial?

Cyberbullying merupakan tindakan kekerasan non-fisik yang dilakukan di internet, umumnya lewat media sosial. Ada beberapa jenis cyberbullying antara lain ejekan (mocking), pelecehan (harassment), penguntitan (cyber stalking), hingga cracking atau pembocoran data pribadi dengan tujuan untuk mempermalukan dan menghina. Tindakan ini dilakukan secara agresif, berulang-ulang, dan intens.

Mayoritas pelaku dan juga korban perundungan di dunia maya adalah anak-anak dan remaja tanggung. Kemudahan dalam menggunakan dan mengadaptasi teknologi informasi menyebabkan kalangan ini ‘menguasai’ banyak lini aktivitas dunia maya, termasuk kegiatan merundung. Data dari UNICEF pada 2016 silam mengungkapkan, 41-50 persen remaja Indonesia usia 13-15 tahun adalah korban perundungan media sosial.

Ada dua kategori perundung. Pertama, mereka yang memiliki popularitas dan reputasi cemerlang. Alasan melakukan perundungan adalah untuk menunjukkan kekuasaan, sekaligus untuk tetap mempertahankan popularitasnya. Bahkan perundungan dianggap sebagai salah satu bentuk hiburan.

Kategori kedua adalah mereka yang terpinggirkan dari pergaulan sosial. Merundung menjadi bentuk pelampiasan dari rasa rendah diri yang mereka hadapi dengan harapan agar kelak mereka diterima dalam lingkungan sosial karena mengikuti tren yang sama seperti orang lain. Alasan lain kelompok ini melakukan perundungan juga karena adanya rasa cemburu terhadap sesuatu yang tidak mereka miliki.

Merundung lewat media sosial dapat memberikan sebuah kepuasan pada pelakunya sebab identitas si perundung dapat disembunyikan secara anonim. Karena tidak harus berhadapan langsung dengan korban perundungan, semua orang bebas berkomentar pedas tanpa memikirkan konsekuensi dan dampak negatif yang mereka timbulkan pada diri korban perundungan.

Alasan Kekejaman Para Haters

Sebagai salah satu bentuk kekerasan, cyberbullying tampaknya telah menjadi gaya hidup masyarakat digital zaman now. Menghina dan mempermalukan orang lain di media sosial sudah menjadi pemakluman dan tidak dianggap sebagai suatu kejahatan luar biasa.

Tetap maraknya cyberbullying disebabkan oleh beberapa faktor berikut:

  • Hilangnya rasa empati dan saling menghargai. Kondisi ini disebabkan karena banyak orang mulai cenderung bersikap individualis, ingin menang sendiri, tidak menyukai adanya perbedaan, dan tidak menyukai kesenangan yang terjadi pada orang lain.
  • Pengabaian dari anggota keluarga dan orang-orang terdekat lainnya.
  • Merundung adalah salah satu bentuk pelampiasan rasa frustrasi dan depresi berkepanjangan untuk mengurangi beban psikologis dan emosional.
  • Penggambaran dari masih minimnya tingkat intelektualitas masyarakat dalam mengolah informasi.
  • Kondisi lingkungan sosial yang menganggap bahwa perundungan adalah suatu hal biasa.

Tidak ada yang bisa mencegah cyberbullying kecuali dimulai dari diri sendiri. Sebagai pengguna media sosial, diharapkan untuk bijak dalam membagikan postingan yang bahkan bersifat pribadi. Pembatasan ini dilakukan agar tidak memancing komentar-komentar negatif dari netizen lain yang bisa jadi atau malah sengaja salah kaprah dalam menanggapi makna postingan.

Jika Anda pernah menjadi korban perundungan di media sosial, atau bahkan mungkin kini tengah mengalaminya, salah satu alternatif yang bisa dilakukan adalah dengan menghindari aktivitas dunia maya untuk menenangkan pikiran selama beberapa waktu. Jangan pernah ragu dan takut untuk bercerita tentang masalah yang Anda hadapi pada orang terdekat agar mereka dapat membantu dan menguatkan Anda menghadapi perundungan.

Apabila perundungan yang Anda alami sudah mencapai level ekstrem, seperti ancaman, simpan bukti tersebut dan laporkan segera pada pihak yang berwajib, seperti pengelola akun media sosial, komisi perlindungan, dan polisi di Divisi Cyber Crime.

Tik Tok, Korban Kesalahpahaman

Keputusan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) untuk memblokir aplikasi video Tik Tok merupakan sebuah aksi dangkal dengan dalih menyelamatkan generasi muda dari konten media yang tidak patut. Tik Tok menjadi korban gagal paham pemerintah dan beberapa kalangan masyarakat yang tidak mengerti dengan pola produksi-konsumsi platform media digital.

Pemblokiran Tik Tok tidak akan membawa pengaruh signifikan bagi para pengguna internet. Aplikasi di dunia maya ibarat pepatah “Hilang Satu Tumbuh Seribu”. Pepatah lainnya “Tak Ada Rotan, Akar pun Jadi” menjadi falsafah berselancar bagi para netizen Indonesia yang kreatif dalam menciptakan peluang baru berekspresi di dunia maya.

Ketahui Pola Perilaku Bermedia

Tik Tok bukan satu-satunya medium jejaring sosial di internet yang dapat mengunggah video-video berkonten tidak layak. Masih ada YouTube, Facebook, Snapchat, dan sederet panjang nama-nama aplikasi lainnya.

Jika pemerintah dan masyarakat ingin menyelamatkan generasi muda dari bahaya konten-konten media yang berbahaya, maka perhatikan pola media behavior para pengguna konten. Jadi, masalah utama bukan terletak pada aplikasi yang dipakai, melainkan pada perilaku bermedia pengguna internet.

Ada dua faktor yang mempengaruhi perilaku bermedia individu, dan masing-masing memiliki perilaku yang unik karena beragam perbedaan lingkup keberadaan:

Pertama, adanya pengaruh dari orang-orang terdekat (significant others) seperti orang tua dan teman bermain yang terlibat aktif dalam menggunakan internet. Ketika semua orang-orang di sekelilingnya menggunakan aplikasi internet yang sama, akan ada rasa terkucil dari pergaulan apabila individu juga tidak ikut menjadi bagian dari tren yang sedang digandrungi oleh orang lainnya.

Saat banyak anak-anak menjadikan Tik Tok sebagai salah satu medium eksistensi, anak-anak lainnya juga akan mengikuti hal serupa agar memiliki eksistensi yang sama dengan anak-anak sebayanya. Perasaan tersebut juga dialami oleh pengguna internet dewasa.

Hal ini tidak hanya berlaku bagi Tik Tok. Ketika nanti ada aplikasi lain yang menjadi hits di kalangan para pengguna internet, pola yang sama akan kembali berulang pada aplikasi baru tersebut.

Kedua, melihat intensitas penggunaan media. Jika pengguna sangat engage dengan platform media tersebut, maka kedekatan dan keterlibatannya terhadap medium tersebut juga akan semakin tinggi dan kuat. Kedekatan dan keterlibatan ini bisa mempengaruhi aspek emosional pengguna karena adanya dorongan di diri pengguna untuk bisa melampaui pencapaian pengguna lainnya.

Tidak heran jika banyak pengguna Tik Tok rela membuat konten nyeleneh hanya demi mendapatkan ribuan likes dan penambahan followers. Pencapaian ini merupakan bentuk harga diri dan apresiasi pengguna di ruang maya.

Menyelamatkan Anak-Anak Dari Konten Tak Layak

Kebebasan mengakses teknologi oleh siapa saja menjadi momok menakutkan bagi orang tua yang khawatir anaknya menjadi korban konten tak layak di internet. Sayangnya, rasa takut tersebut tidak berbanding lurus dengan tindakan nyata yang dilakukan oleh kebanyakan orang tua terhadap perilaku konsumsi media anak-anak mereka.

Saat ini, hampir semua anak-anak (bahkan sejak berusia balita) terlihat sudah mulai memegang gadget seperti smartphone maupun tablet. Masalah terbesarnya, anak dibiarkan mengakses konten sendiri tanpa didampingi oleh orang tua. Pendampingan yang dimaksud di sini adalah turut sertanya orang tua mengomentari konten yang ditonton/dibaca anak, pembatasan konten-konten yang boleh diakses, hingga pelarangan akses terhadap konten berbahaya.

Bila orang tua tidak melakukan pendampingan terhadap konten-konten yang sering diakses oleh anak, jangan salahkan jika pemikiran anak tercemar oleh pengaruh-pengaruh negatif yang dia dapatkan dari internet. Pada dasarnya, anak-anak masih mempelajari dunia dan belum memiliki preferensi tersendiri. Tugas orang tua adalah mengajarkan dan menanamkan agar anak-anak kelak memiliki preferensi positif, termasuk dalam hal memilih konten media.

Terapkan Literasi Media di Pendidikan Dasar Anak

Sekali lagi, pemblokiran aplikasi bukan merupakan cara utama yang harus dilakukan pemerintah jika memang ingin menyelematkan anak-anak dari pengaruh negatif konten media. Sudah saatnya pemerintah menganggap serius persoalan media ini dengan cara menerapkan kurikulum literasi media pada sistem pendidikan dasar.

Pentingnya pengajaran mengenai literasi media pada pendidikan dasar anak-anak merupakan salah satu upaya penanaman, pembekalan, dan pengajaran terhadap generasi muda agar kelak tidak terjerumus dalam hal-hal negatif dari media. Apalagi internet dan media sosial nantinya merupakan medium yang akan mendominasi interaksi dan kehidupan masyarakat.

Jaringan internet yang tanpa batas dapat menjadi ajang kreativitas. Di sisi lain dapat juga menjadi sarana penyebaran kejahatan seperti cyberbullying, hate speech, cybercrime, dan lainnya. Maka dari itu, pemberian literasi media terhadap anak-anak merupakan suatu keharusan agar generasi selanjutnya justru menjauhi hal-hal tidak pantas di dunia maya.

Konten Receh yang Tak Receh

Penampakan Ibu Mejikom dalam cuplikan iklan Ramayana Department Store besutan sutradara Dimas Djayadiningrat selama bulan Ramadhan sontak menghebohkan para warganet di jagad maya. Para netizen kreatif pun langsung membuat memes sehingga si Ibu Mejikom jauh lebih viral dibandingkan iklan aslinya.

Beragam kreasi konten yang dibuat dengan tampilan sederhana untuk tujuan hiburan dapat dikategorikan sebagai konten receh. Dalam hal ini, receh berarti tidak memerlukan usaha dan biaya yang besar untuk membuat kontennya. Memes dapat dikategorikan sebagai konten receh karena membuatnya murah dan mudah. Tinggal tergantung kreatifitas si kreator konten dalam mencari inspirasi pembuatannya.

Mengapa Konten Receh Begitu Hits?

Berseliwerannya berbagai informasi di internet, baik berupa audio, visual, teks, atau gabungan ketiganya, menjadikan internet sebagai medium yang riuh. Berbeda dengan media arus utama (televisi, radio, dan media cetak) yang memiliki editor sebagai penyaring informasi, internet sama sekali tidak memiliki penyaring sehingga audiens bisa mengalami kesulitan untuk menentukan pilihan informasi yang diinginkan.

Kegaduhan informasi ini pada akhirnya mengharuskan produser konten di dunia maya untuk menciptkan konten yang menarik dan langsung dilirik oleh audiens. Salah satu alternatif untuk menarik perhatian warganet adalah dengan menciptakan konten receh.

Meski tidak menggunakan desain grafis yang luar biasa dan narasi yang menggugah, konten receh bisa langsung menempel di hati para audiens. Isi pesan yang terkandung dalam konten receh begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari sehingga audiens merasakan adanya kedekatan emosional karena konten tersebut menggambarkan realitas yang audiens alami dalam kehidupan nyata.

Cara penyampaian konten receh pun terkadang tak biasa. Sering kali kreator menampilkan cara yang lucu, unik, bahkan konyol demi menarik perhatian. Semakin konyol, konten tersebut akan semakin viral karena audiens banyak membagikannya di akun media sosial hingga instant messenger.

Pemasaran Receh yang Tak Receh

Meski penyampaian pesan menggunakan effort yang receh, bukan berarti penggunaan konten receh serta merta dianggap murahan. Konten receh bukan sekedar simplifikasi narasi atau gambar untuk menghemat biaya dan tenaga, melainkan agar pesan yang disampaikan oleh kreator konten langsung tepat pada sasaran audiens dengan hal yang langsung bersinggungan dengan kehidupan mereka.

Sudah banyak perusahaan-perusahaan besar memanfaatkan konten receh sebagai sarana pemasaran produk. Ambil contoh seperti sindiran yang dilakukan oleh franchise fast food terkemuka Wendy’s yang menyindir burger Big Mac McDonald’s dengan mengambil salah satu adegan dan dialog di film Avengers: Infinity War. Tujuannya adalah untuk menunjukkan kalau burger Wendy’s jauh lebih baik dibandingkan McDonald’s.

Sama seperti sarana marketing pada umumnya, konten receh digunakan untuk meningkatkan brand awareness agar audiens selalu mengingat produk yang mereka pasarkan. Agar komunikasi pemasaran juga berjalan baik, kreator pun harus jeli menangkap tren yang heboh pada saat membuat konten receh agar konteks pesan yang disampaikan tetap up to date dengan kondisi kekinian.

Konten Receh dan Pemilih Muda

Kesuksesan penggunaan konten receh sebagai salah satu metode pemasaran produk juga dapat diaplikasikan oleh institusi politik dan pemerintahan. Memiliki akun media sosial di era digital merupakan suatu keharusan bagi politisi agar senantiasa bisa langsung bersinggungan dengan konstituennya.

Tahun 2018 ini merupakan tahun kegaduhan karena diselenggarakannya pilkada serentak di 171 daerah, sekaligus penyambutan pemilu serentak yang akan diselenggarakan tahun depan. Walau secara resmi belum ada penetapan waktu resmi berkampanye untuk pemilu, sejumlah partai dan politisi telah melancarkan ‘serangan’ di dunia maya untuk meningkatkan awareness khalayak terhadap citra partai dan figur calon presiden dan wakil presiden.

Ada beberapa keuntungan bagi partai dan politisi jika memanfaatkan konten receh sebagai salah satu cara kampanye politik:

Pertama, berselancar di internet merupakan kebiasaan kaum muda, utamanya generasi milenial dan Gen Z (yang kebanyakan masuk dalam kategori pemilih pemula). Konten receh merupakan kreasi yang kebanyakan diciptakan oleh dua generasi ini, dan secara aktif mereka pun turut pula menyebarkannya di beragam media sosial hingga menjadi viral.

Pemilu 2019 nanti akan didominasi oleh kaum muda yang berusia di bawah usia 35 tahun. Dari perkiraan 196,5 juta pemilih yang didata oleh Kementerian Dalam Negeri, 55% di antaranya adalah pemilih muda (termasuk pemilih pemula). Oleh karena itu, amat penting bagi partai dan politisi untuk menggaet para pemilih muda dengan konten-konten kampanye yang relevan dengan tren anak muda kekinian.

Kedua, konten receh tentunya sangat menghemat biaya kampanye. Persebarannya yang menggunakan medium internet tidak mengharuskan partai/politisi membayar biaya iklan yang cenderung mahal seperti ketika beriklan di televisi atau koran.

Ketiga, konten receh yang menjadi viral secara tidak langsung akan membangun citra yang bisa berdampak positif bagi partai/politisi tanpa (lagi-lagi) harus membayar konsultan citra dengan biaya yang relatif mahal. Contohnya seperti Calon Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang dikenal konsisten mengepos konten receh di akun Instagramnya. Konsistensi ini pada akhirnya menjadikan figur Ridwan Kamil sebagai politisi yang identik dengan kaum muda.

Jangan Pandang Receh Konten Receh

Potensi konten receh sebagai salah satu bentuk komunikasi, terutama marketing, masih belum banyak disadari. Kesan yang timbul dari konten receh masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak serius, candaan, dan bermakna dangkal. Padahal justru konten receh berpeluang untuk terus menancap di pikiran audiens, apalagi jika konten tersebut sampai viral.

Namun bukan berarti segala penyampaian pesan harus melulu disampaikan dalam bentuk konten receh. Ada kalanya untuk pesan yang lebih kompleks, seperti pemaparan data statistic, harus menggunakan infografis dan sebagainya. Tinggal bagaimana si komunikator mengkombinasikan cara penyampaian pesan agar efektif menjangkau khalayak.