Gugatan Pertama: Persoalan Tanggal Peringatan
Sepagi ini aku dan suami telah berdebat panas tentang penetapan 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Kenapa justru pada tanggal kelahiran organisasi kedaerahan Boedi Oetomo yang digaungkan sebagai kemunculan sentimen nasionalisme di Indonesia?
Tujuan utama pendirian Boedi Oetomo adalah sebagai wadah kaum terpelajar Jawa yang fokus pada masalah pendidikan dan budaya. Bisa dikatakan bukan sentimen nasionalisme yang menjadi tonggak berdirinya organisasi ini, meski mungkin Boedi Oetomo tercatat dalam sejarah sebagai organisasi pertama bentukan rakyat Indonesia. Bahkan Tjipto Mangoenkoesoemo yang merupakan salah satu pendiri, akhirnya keluar dari organisasi karena Boedi Oetomo hanya menerima ‘nasionalisme’ kedaerahan Jawa dan menolak nasionalisme yang lebih luas dari sekedar Jawa.
Jika ingin bersikap fair dengan menjadikan hari pembentukan organisasi sebagai cikal bakal pergerakan nasionalisme Indonesia, Indische Partij (IP) yang didirikan oleh Tiga Serangkai E.F.E Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat pada 25 Desember 1912 lebih berhak dijadikan ‘hari lahir’ kebangkitan nasional.
IP merupakan organisasi pertama yang mendeklarasikan Indie voor Indiers (Hindia/Indonesia untuk orang Hindia/Indonesia) tanpa membedakan silsilah keturunan campuran (Indo), suku, ataupun ras minoritas. Selagi lahir di tanah Indonesia, mereka adalah orang Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban setara sebagai warga.
Organisasi ini pula yang pertama kali menjadikan kemerdekaan dari penjajahan kolonial sebagai tujuan utama. Lebih daripada itu, Indische Partij juga adalah organisasi yang pertama kali berpolitik. Tiada nasionalisme tanpa politik, sebab nasionalisme berurusan dengan sistem pemerintahan bebas yang melampaui identitas kesukuan, ras, atau agama.
Radikalisme yang ditunjukkan para pemimpin IP lewat tulisan-tulisan dan pengorganisasian massa untuk mengumandangkan reformasi politik bagi orang Hindia/Indonesia mengakibatkan organisasi ini tak berumur panjang. Hanya mampu bertahan selama enam bulan. Dengan dibuangnya Tiga Serangkai ke Belanda, otomatis Indische Partij pun bubar. Namun pemikiran dan sentimen nasionalisme Hindia pada akhirnya mempengaruhi banyak kaum terpelajar untuk memperjuangkan kemerdekaan dan kesetaraan hak orang Indonesia tanpa melihat identitas ras.
Gugatan Kedua: Persoalan Identitas Kebudayaan
Apa makna menjadi orang Indonesia di era digital?
Batas negara hari ini hanya sekedar patokan fisik untuk menandai kedaulatan wilayah negara. Namun perkembangan teknologi telah meluapkan batas-batas tersebut. Jejaring sosial di dunia maya menumbuhkan kesadaran baru sebagai warga global yang ikut pula mengawal persoalan global seperti perubahan iklim dan lingkungan, terorisme, perang dagang akibat fluktuasi harga minyak internasional, hingga isu-isu kemanusiaan seperti kesetaraan gender, pelanggaran hak asasi manusia, dan human trafficking.
Jejaring sosial di dunia maya pun menciptakan kreativitas baru yang mampu menggabungkan kebiasaan budaya luar dengan tradisi lokal dalam bentuk budaya pop. Produk-produk seni seperti musik, film, dan desain pakaian kerap menghasilkan identitas lintas multikultural, semisal perpaduan kain songket dalam balutan gaun ala Yves Saint Laurent, K-Pop yang mengadopsi manajemen boyband Eropa-Amerika seperti Backstreet Boys, atau bermunculannya beragam wajah baru yang oriental look (Asia) dan latin dalam industri perfilman Hollywood.
Pengakuan kebudayaan oleh badan dunia seperti UNESCO pun tak lagi menjadikan budaya yang berasal dari suatu daerah menjadi eksklusif milik daerah tersebut. Batik dan Tari Saman adalah salah satu budaya yang berasal dari Indonesia yang diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda. Dengan demikian batik serta Tari Saman dapat pula dipakai dan dipertunjukkan oleh siapa saja dan di mana saja di seluruh dunia ini. Bahkan batik di Afrika Selatan lebih populer disebut sebagai Madiba Shirt karena menjadi pakaian resmi yang selalu dipakai Nelson Mandela.
Interaksi manusia di dunia maya yang tak mengenal batasan wilayah selalu menciptakan budaya baru dengan identitas yang tak lagi tunggal. Di masa depan, kita mungkin akan mempelajari sejarah angklung sebagai instrumen musik bambu yang berasal dari Bumi Pasundan, namun angklung tak lagi menjadi instrumen milik orang Sunda jika ada yang memainkannya pada pertunjukan balet Tchaikovsky di St. Petersburg, Rusia. Sama halnya dengan saya yang memiliki garis keturunan Melayu Riau dari Indonesia, tapi ikut bersuara di media sosial dalam mengampanyekan gerakan penghentian pelecehan seksual #MeToo atau melindungi habitat singa Afrika di Kenya.
Gugatan Ketiga: Persoalan Supremasi Sosial
Sebagaimana lazimnya gerakan nasionalisme di seluruh dunia, nasionalisme Indonesia pun berakar dari keinginan kemerdekaan untuk memerintah sendiri. Kemerdekaan tersebut selalu mengedepankan tujuan masyarakat bersama yang melampaui kepentingan golongan elit, suku, ras, agama, bahkan gender. Nasionalisme adalah memberi perlakuan adil pada semua pihak.
Bukanlah suatu kemerdekaan jika hari ini masih banyak pelanggaran kemanusiaan yang kerap terjadi. Pelarangan pembangunan rumah ibadah; kekerasan dalam rumah tangga yang menjadikan perempuan dan anak sebagai korban; atau pendikotomian pribumi dan non-pribumi yang membawa kita kembali ke era jahiliah zaman kolonialisasi Belanda.
Menjadi haters dan netizen nyinyir seolah menjadi gaya hidup kekinian yang wajib dilakoni. Menyudutkan seseorang dengan melakukan body shamming atas mata sipitnya, hingga mengeluarkan sumpah serapah kepada ulama yang tak sepemahaman dengannya adalah identitas nasional baru hari ini. Semuanya dipertunjukkan tanpa malu-malu di depan publik, bahkan dikumandangkan secara viral di media sosial.
Tantangan Nasionalisme di Era Digital
Nasionalisme hari ini bukan lagi suatu identitas tunggal yang didasari pada garis keturunan. Arus migrasi akibat percepatan pertumbuhan teknologi transportasi menjadikan begitu cepatnya perpindahan penduduk dari seluruh tempat di dunia. Tak terhitung berapa banyaknya ekspatriat yang akhirnya berpindah kewarganegaraan.
Perkembangan teknologi informasi yang memudahkan warga global untuk saling berinteraksi juga pada akhirnya membutuhkan suatu bahasa tunggal yang maknanya dapat dimengerti bersama. Penggunaan bahasa Inggris, Spanyol, atau Mandarin sebagai lingua franca yang paling banyak dilisankan pada saat ini memang berpotensi besar menghilangkan budaya lisan yang sudah ada. Namun selalu bermunculan orang-orang dengan perspektif global yang ingin melestarikan budaya lokal. Pada akhirnya upaya pelestarian malah menjadikan budaya lokal tersebut sebagai milik masyarakat dunia.
Nasionalisme adalah di mana hati dan pikiran bersemayam. Dengan segala daya upaya memperjuangkan kemanusiaan dari segala perlakuan tak adil pada suatu sistem masyarakat.
I was born and raised as Indonesian. My papers show where I come from when I travel aboard. I can’t live without Sambal Terasi and the slave of Semur Jengkol. I always prioritize watching Indonesian movie in cinema, like choosing Ada Apa Dengan Cinta 2 over Captain America: Civil War. But I really concern when women in India are raped and treated unjustly. I got angered when Zionists bombed the Palestinians. I sometimes enjoy Scottish folk songs on Spotify. I always write caption in English in my Instagram feed.
Am I a nationalist?