Kampanye agar tidak takut divaksin Covid-19 yang melibatkan selebritis Raffi Ahmad dianggap sebagai bumerang. Pasalnya, selebritis yang bergelar Sultan Andara ini malah terlihat berkumpul di sebuah acara bersama rekan-rekannya tanpa menerapkan protokol kesehatan setelah beberapa jam divaksin.
Sontak saja netizen jagad maya riuh sebab Raffi dinilai tidak menunjukkan citra yang sesuai dengan ‘tugas’ yang diembannya dari pemerintah, yakni mencitrakan diri sebagai figur yang tetap peduli dengan penerapan aturan kesehatan selama pandemi Covid-19 meski sudah divaksin.
Ketidakbertanggungjawaban yang ditunjukkan oleh Raffi Ahmad membuat pihak Istana kelabakan dan menegur sosok yang kerap menjadi presenter ini. Sebagian kalangan bahkan meminta agar Raffi mundur dari tim sukses kampanye vaksinasi Covid-19.
Namun benarkah ini semua sepenuhnya kesalahan sang Sultan Andara?
Mendefinisikan Makna Sebenarnya Influencer
Raffi mulanya dipilih oleh pihak Istana sebagai ‘influencer’ dan representasi kaum milenial agar mempercayai keamanan dan efektivitas vaksin Covid-19 yang disediakan oleh pemerintah Indonesia, yakni Sinovac. Keterpilihan Raffi mewakili generasi muda ini dinilai karena faktor popularitas dan jumlah followers puluhan juta orang di akun media sosialnya.
Namun sebenarnya jumlah followers jutaan orang di media sosial tidak serta merta mengklaim suatu akun sebagai influencer. Seseorang dengan pengikut hanya ribuan pun dapat menjadi influencer. Penilaian untuk menjadi influencer dilihat dari kepiawaian suatu akun di media sosial dalam mempersuasi/membujuk audiens untuk bersikap seperti yang direkomendasikan oleh sang influencer. Selain itu, influencer pun kerap memiliki tingkat interaktivitas yang tinggi dengan para pengikutnya sehingga tidak saja meningkatkan engagement dalam aktivitas di media sosial, namun juga munculnya trust terhadap konten-konten yang dibuat oleh sang influencer.
Brittani Hennessy dalam bukunya Influencer menyatakan, seseorang akan menjadi influencer manakala dia membangun reputasi dan citra diri di media sosial dengan berdasarkan pengetahuan dan keahlian yang dimiliki mengenai suatu topik tertentu. Secara konsisten pula, influencer hanya membuat konten otentik yang mencerminkan kepribadian dirinya. Seorang influencer tidak akan pernah menerima tawaran endorse dari suatu brand yang tidak sesuai dengan orisinalitas dirinya.
Karena orisinalitas dan kemampuannya dalam menguasai suatu topik, influencer pada umumnya memiliki tingkat engagement yang tinggi dengan followers. Segala bentuk postingan kerap mendatangkan reaksi positif dan dipercaya. Kepercayaan inilah yang membuat seorang influencer mampu mempengaruhi (to influence) audiens untuk mengikuti segala perilaku sang influencer (Goldenberg et all, 2009).
Contoh influencer antara lain seperti vlogger yang mengupas kelebihan dan kekurangan suatu produk seperti kosmetik (beauty vlogger), tempat kuliner dan jalan-jalan (travel vlogger); YouTuber yang mengulas topik spesifik seperti gadget atau otomotif; dan blogger yang mengulas secara tuntas mengenai suatu aktivitas hingga membahas topik khusus seperti parenting, kesehatan, ulasan buku/musik/film, hingga isu-isu humaniora lainnya.
Berbeda dengan selebritis dan kategori figur publik lain (seperti model, atlet, komidian, entrepreneur, dan politisi) yang membangun reputasinya tidak berdasarkan aktivitas media sosial. Bagi selebritis, media sosial hanya merupakan salah satu channel pemasaran untuk meningkatkan popularitasnya. Konten-konten yang kerap dibagikan oleh selebritis juga kebanyakan berkaitan dengan aktivitas dan keseruan hidup yang mereka jalani.
Oleh sebab itu, golongan ini lebih merupakan lifecaster ketimbang influencer. Netizen yang mengikuti aktivitas mereka di media sosial tertarik untuk melihat para lifecaster membagikan momen hidup mereka yang terlihat luar biasa, misalnya seperti saat membeli mobil Ferrari limited edition, menghabiskan uang hingga ratusan juta rupiah demi tas Hermes keluaran terbaru, liburan di resor termewah di Kepulauan Karibia, dan masih banyak lainnya.
Indonesia Krisis Influencer
Kembali lagi pada pertanyaan yang diajukan di awal tulisan, benarkah ini semua murni kesalahan Raffi Ahmad?
Sebagai seorang selebritis, tidak ada yang salah jika Raffi Ahmad ingin membagikan postingan di media sosial tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukannya. He deserves to broadcast his life. Dalam kasus ini pun, sebenarnya bukan Raffi Ahmad yang membagikan momen keseruan pesta tersebut, melainkan rekan selebritis lainnya Anya Geraldine. Tidak ada hak yang melekat pula pada Raffi Ahmad untuk melarang Anya Geraldine membagikan post di akun media sosial milik Anya sendiri. So, who’s to blame?
Mau tak mau, tulisan ini hendak menuding pemerintah sebagai instansi yang tidak cermat dalam memilih figur untuk mengampanyekan isu kesehatan sepenting ini.
Dalam dunia pemasaran era digital, peran influencer saat ini kian penting untuk meningkatkan popularitas suatu isu dan juga keterjangkauan khalayak (Koetler, Kartajaya, Setiawan, 2014). Namun umumnya entitas yang telah memiliki reputasi tinggi selalu memiliki kriteria tertentu dalam memilih influencer yang akan mewakili citra dan isu yang diusung oleh entitas, dan kriteria tersebut tidak selalu didasarkan pada jumlah followers.
Banyaknya pengikut tidak selalu menjadi jaminan, sebab bisa saja alasan untuk mengikuti sebuah akun di media sosial dilandasi keinginan untuk menjadi haters alih-alih sebagai pengikut loyal yang membangun interaksi positif dengan si pemilik akun yang diikutinya.
Kriteria yang sering dilihat dalam memilih influencer adalah konsistensi dan pengetahuan mengenai topik yang dibahas saat membuat konten. Seorang beauty vlogger menjadi seorang beauty vlogger karena kerap menge-post testimoni sebuah produk kecantikan hingga membuat tutorial makeup. Ketika tiba-tiba sang vlogger membahas mesin mobil Hyundai, brand kosmetik akan meragu meminta sang influencer untuk mengampanyekan produknya.
Dari beragam konten yang dibuat Raffi Ahmad di akun Instagram atau YouTube, Raffi tidak pernah mengkhususkan diri membahas suatu topik tertentu secara mendalam. Raffi Ahmad adalah seorang selebritis yang menggunakan akun media sosialnya untuk menyiarkan keseruan hidup yang dijalaninya. Raffi adalah seorang lifecaster, bukan influencer yang menggunakan teknik pemasaran dan persuasi untuk mempengaruhi (to influence) audiens.
Sekarang bergantung pada tujuan pemerintah dalam menyosialisasikan suatu isu yang ingin menjangkau publik secara digital. Jika pemerintah hendak mencari seseorang yang bisa mempengaruhi (to influence) publik agar mau divaksin Corona, hendaknya mencari seorang influencer yang juga memiliki pengetahuan dan perhatian terhadap isu-isu kesehatan seputar Covid-19.
Namun bila pemerintah hendak menunjukkan jika vaksin Covid-19 aman dan setelah disuntik bisa langsung bersosialisasi tanpa menerapkan protokol kesehatan, maka lifecaster seperti Raffi Ahmad sudah mencukupi.
Satu pendapat untuk “Krisis (Karena) Influencer”