Hari ini kita memasuki fase New Normal – Normal Baru, sebuah frasa yang dimaklumatkan di seluruh dunia untuk kembali meningkatkan geliat ekonomi yang terpuruk akibat pembatasan aktivitas di luar rumah selama pandemi Covid-19. Pengaktifan lagi kegiatan ekonomi warga disertai pula sejumlah pencanangan protokol kesehatan supaya meminimalisir penularan virus tersebut.
Sejatinya, frasa Normal Baru seharusnya diikuti dengan sejumlah kebiasaan-kebiasaan baru yang disesuaikan di tengah pandemi Covid-19. Misal, kebijakan Facebook dan Twitter yang mengalihkan pekerjaan untuk dilakukan di rumah. Bahkan peraturan tentang bekerja dari rumah secara permanen sedang digodok di beberapa negara supaya benar-benar tidak memunculkan penyebaran baru Covid-19 gelombang ke dua. Intinya, masa Normal Baru masih menekankan pada pentingnya untuk mengurangi kegiatan di luar jika tidak penting.
Malangnya, kondisi Normal Baru di Indonesia malah dipandang sebagai mengembalikan kebiasaan lama sebelum pandemi Covid-19. Mengutip pernyataan dari diskusi saya dengan pemerhati budaya digital Universitas Indonesia Dr. Firman Kurniawan yang menyebutkan, masa Normal Baru malah dianggap sebagai kembalinya kebebasan warga melakukan aktivitas yang dibatasi selama PSBB. Pembatasan jarak dan himbauan menjaga kesehatan dengan memakai masker atau mencuci tangan lebih dimaknai sebagai ‘hukuman’ dibanding sebagai upaya mencegah penularan.
Ketidaksigapan Pemerintah Menyikapi New Normal
Dari dulu pemerintah sangat lamban bertindak menanggapi penyebaran Corona. Mulai dari keterlambatan pencegahan ketika warga negara-negara tetangga sudah mulai banyak yang terinfeksi. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi malah berkelakar tentang sistem kekebalan tubuh orang Indonesia yang tidak akan mungkin terkena Corona karena sering makan nasi kucing. Selanjutnya, meskipun ada warga Indonesia yang terdeteksi terinfeksi Covid-19, pemerintah masih aktif menggencarkan promosi wisata agar tetap didatangi turis mancanegara dan domestik.
Kini pemerintah Indonesia ikut pula latah saat pemerintah negara-negara lain telah melonggarkan lockdown, padahal Indonesia masih belum melewati puncak kurva penularan Covid-19 dan sebelumnya tak pernah menerapkan lockdown. PSBB yang masih longgar saja tidak efektif menekan penambahan jumlah penderita yang positif terinfeksi. Sekarang pemerintah mewacanakan kebiasaan Normal Baru dengan hampir tidak menciptakan kebiasaan baru apapun sama sekali.
Ya, himbauan menjaga jarak memang digaungkan. Fasilitas publik, terutama transportasi umum, disyaratkan hanya boleh menampung kapasitas tidak lebih dari 50%. Namun pada praktiknya, lonjakan antrian tetap membludak dengan mengabaikan kedekatan jarak karena hampir semua perkantoran kembali mengaktifkan pola kerja sama seperti sebelum pandemi melanda. Sudah menjadi pemandangan biasa adanya keramaian dan desak-desakan penumpang di sepanjang stasiun kereta. Sebelum PSBB saja kerumunan sudah mengular karena banyak orang yang tidak mau terlambat pergi bekerja. Sekarang antrian semakin menumpuk sebab muatan transportasi umum dibatasi hanya 50%.
Tentu saja kegiatan ekonomi harus diaktifkan. Namun lagi-lagi pemerintah gagal mempersiapkan skenario yang harus dilakukan untuk menciptakan kebiasaan baru di masa Normal Baru. Aturan yang diterapkan pemerintah saat ini mungkin bisa menyelamatkan kondisi perekonomian yang sempat ambyar, namun tidak mampu mengurangi membludaknya jumlah penderita yang tiap hari bertambah hingga menyentuh ribuan orang per hari.
Covid-19 pada saat ini masih merupakan penyakit yang belum ditemukan obatnya. Sejumlah penelitian masih digarap untuk menangkal virus ini. Oleh sebab itu, pembatasan jarak bukan hanya sekedar tidak bersentuhan atau tidak berdekatan lebih dari 1,5 meter. Aktivitas di luar rumah tetap harus dikurangi supaya tidak menimbulkan potensi besar penularan ke orang lain.
Setidaknya kondisi di masa PSBB jauh lebih baik dengan adanya ‘kewajiban’ untuk bekerja dari rumah, sehingga dengan demikian mengurangi kegiatan orang-orang untuk keluar apabila tidak penting. Kegiatan niaga bisa disiasati dengan mengubah kebiasaan jual-beli dari toko fisik ke toko online.
Cukup banyak aktivitas dan pekerjaan yang sebenarnya bisa dialihkan secara daring tanpa harus menghambat pertumbuhan ekonomi. Malahan pekerjaan yang dilakukan secara daring akan lebih meningkatkan efisiensi dalam menekan biaya operasional, sehingga lebih menghemat anggaran perusahaan. Pemerintah hanya perlu mempersiapkan infrastruktur jaringan agar internet dapat diakses secara merata ke seluruh Indonesia. Pengalihan sebagian besar aktivitas secara daring ini lah yang tepat disebut sebagai menghadapi Normal Baru, ketimbang sekedar himbauan memakai masker dan mencuci tangan saat pergi bekerja.
Sektor-sektor yang tidak memungkinkan untuk melakukan pekerjaan secara daring (seperti logistik, perbankan, produsen makanan, dan lainnya) dapat memberlakukan protokol kesehatan yang diawasi ketat, sambil menerapkan waktu kerja yang tidak menimbulkan kelelahan. Karena infeksi Corona akan lebih rentan menular pada orang yang sistem imunnya sedang melemah.
Menyebarkan Paranoia Bagi Masyarakat yang Cuek
Di awal-awal merebaknya pandemi Covid-19, saya menemukan artikel menarik yang ditulis oleh Justito Adiprasetio di situs Remotivi tentang pentingnya media menyebarkan paranoia agar semua orang memikirkan tentang bahaya dan menumbuhkan ketakutan warga, sehingga orang-orang mengurangi aktivitas di luar rumah demi memutus rantai penyebaran virus Corona. Ya, dengan kata lain aktivitas yang dilakukan selama PSBB adalah yang terbaik dalam menghadapi fase New Normal.
Sebenarnya ‘haram’ bagi media untuk menyebarkan teror dalam konten beritanya karena akan menimbulkan kegaduhan. Namun dalam konteks untuk mengurangi penyebaran virus, saya kurang lebihnya sepakat dengan tulisan Justito meskipun sebenarnya penyebaran paranoia di media tidak diperlukan andaikan masyarakat bijak mengonsumsi media dan melek informasi tentang Covid-19.
Memang tidak ada yang lebih menyenangkan selain bertemu dengan manusia lain. Itu memang sudah kodrat manusia sebagai mahluk sosial yang tak dapat bertahan tanpa kehadiran manusia lainnya.
Tapi tidaklah ada artinya jika keberadaan dan pertemuan kita di tengah-tengah manusia malah menjadi alasan bagi orang lain menjemput ajalnya karena terinfeksi Covid-19 yang tanpa sadar kita tularkan. Banyak pengidap virus Corona yang tidak menunjukkan gejala penyakit apapun, namun dia telah menjadi sebab penularan bagi orang lain yang mungkin kekebalan tubuhnya lebih lemah.
Dengan banyaknya orang-orang yang tidak mempedulikan aturan kesehatan ketika berdekatan dengan orang lain, sebenarnya membuat hati ini geram. Jika demikian, sampai kapanpun penularan virus akan terus meningkat tak terkendali.
Oleh sebab itu, teror mengenai bahayanya virus Corona yang disebarkan oleh media malahan menjadi keharusan agar masyarakat memang takut terhadap virus ini, sehingga dengan demikian lebih bersikap peduli dan berhati-hati saat berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian juga orang-orang akan lebih waspada menjaga keselamatan dirinya sendiri serta orang-orang terdekat mereka.
Berpelesir Lewat Reservasi Online
Baiklah.. Bagaimana pun juga tidak selalu sehat jika setiap saat berdiam diri di rumah menghindari kerumunan. Manusia tetap butuh hiburan dengan pergi berpelesir. Di rumah terus menerus juga bisa mengakibatkan terganggunya kesehatan mental.
Lagi-lagi solusi yang terlintas dalam pikiran saya adalah dengan pemanfaatan internet untuk melakukan reservasi tempat ke berbagai destinasi wisata dengan tiket yang harus dibeli secara online. Apapun dan di manapun ingin berdarmawisata (pantai, bangunan bersejarah, hingga makan di restoran yang berdekatan dengan lokasi wisata), semuanya harus dipesan secara online agar penyelenggara tempat wisata dapat memantau jumlah pengunjung dalam sehari, baik itu mengunjungi objek wisata atau memesan penginapan. Jika sudah mencapai kapasitas maksimum, pemesanan akan ditutup. Dengan demikian tidak akan terjadi penumpukan massa di satu tempat yang mengakibatkan penularan virus Corona.
Kembali pada persiapan pemerintah untuk mendukung gagasan ini, yakni menguatkan infrastruktur jaringan internet sehingga memudahkan warga untuk mengakses layanan wisata berbasis daring ini. Jadi memang eksodus sebagian besar aktivitas secara daring adalah kebiasaan baru di Normal Baru.