Mempolitisir Budaya Populer

Winter is here!!!

Frasa itu sudah tidak asing bagi para penggemar serial kolosal fantasi Game of Thrones yang diambil dari novel seri A Song of Ice and Fire karangan novelis Amerika Serikat George R.R. Martin. Serial ini mengisahkan tentang perebutan tahta kekuasaan yang dikenal dengan sebutan Iron Throne di sebuah negara imajinari bernama Westeros.

Ini merupakan kali kedua Presiden Jokowi menggunakan analogi dari film populer saat berbicara di forum ekonomi internasional. Sebelumnya, Jokowi menyebut kondisi perekonomian seperti Infinity Wars dalam film Avengers besutan Marvel Universe, dan para pelaku ekonomi dunia memiliki ambisi seperti karakter antagonis utama Thanos yang ingin menghancurkan separuh populasi alam semesta.

Ekonomi dan politik merupakan salah satu topik yang cukup sulit dimengerti oleh kebanyakan orang. Penggunaan analogi seperti yang terdapat dalam film atau lagu populer akan mampu memberikan pendekatan yang baik bagi kalangan awam yang juga ingin mengetahui tentang topik yang lebih kompleks.

Apa Itu Budaya Pop?

Sampai saat ini masih belum ada kesepakatan bulat antara para akademisi dan pengamat budaya mengenai definisi dari budaya pop (popular culture). Namun budaya pop dimaknai sebagai “disukai oleh semua orang”, “budaya yang dibuat oleh masyarakat untuk diri mereka sendiri”,  dan “hasil karya yang inferior” (Williams, 1983). Budaya pop bisa dirangkum sebagai sebuah sistem budaya yang sederhana dan nggak neko-neko yang menjadi kesukaan bagi banyak orang (Storey, 1993).

Perkembangan media massa menjadikan budaya pop semakin marak dan digandrungi oleh hampir semua kalangan. Beberapa kalangan akademisi menganggap budaya pop sebagai budaya rendahan karena tidak memiliki eksklusifitas sehingga bisa diakses oleh banyak kalangan massa.

Bentuk Budaya Pop Hari Ini

Karena budaya pop memiliki akses yang menjangkau banyak kalangan massa, pada akhirnya penggunaan budaya pop malah sering dipakai untuk kepentingan para elit, terutama dalam bidang politik. Budaya pop sama sekali tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi bagian dari sistem politik karena bertujuan untuk hiburan masyarakat semata (Ariel Heryanto, 2012).

Meskipun demikian, pada massa Orde Baru di mana orang-orang tidak berani mengkritik kebijakan pemerintah secara langsung, penggunaan budaya pop kerap dipakai sebagai salah satu instrumen politik yang halus. Misalnya dalam lirik-lirik lagu Rhoma Irama yang menggunakan musik dangdut, lagu-lagu Iwan Fals, serta film-film Warkop DKI yang menunjukkan ironi kondisi masyarakat yang saat itu tidak bebas berekspresi.

Di era demokrasi yang turut serta membawa angin segar bagi kebebasan pers dan media, budaya pop semakin mendominasi konten-konten media yang pada akhirnya mempengaruhi tren gaya hidup masyarakat.

Restoran bukan sekedar tempat makan, melainkan juga harus menawarkan interior yang lucu dan unik sehingga pengunjung akan berswafoto dan mengunduh foto mereka di Instagram. Kegandrungan terhadap drama serta boyband dan girlband Korea menjadikan banyak penggemarnya meniru penampilan seperti selebritis Korea, dan mengggunakan produk-produk kecantikan dari Korea.

Politik dan Budaya Pop yang Bersinergi

Kegiatan berpolitik saat ini harus menggunakan budaya politik agar politisi dan partai politik terkesan populis sehingga memunculkan kesan dekat dengan rakyat. Kedekatannya dengan band rock legendaris SLANK serta kegemarannya terhadap musik metal telah mempengaruhi jutaan pemilih muda dan pemilih pemula untuk memilihnya sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2012 silam, dan sebagai presiden pada 2014 lalu.

Calon wakil presiden Sandiaga Uno juga kerap berolahraga lari. Olahraga lari saat ini merupakan gaya hidup masyarakat urban saat ini. Saat lari, Sandi kerap bertemu dengan masyarakat dan di saat itulah terjaring aspirasi dan dukungan publik untuk Sandi.

Sosialisasi politik yang menggunakan budaya pop akan lebih banyak menjangkau kalangan masyarakat. Budaya pop sudah menjadi bagian hidup yang melekat di masyarakat, sehingga proses interaksi politik antara elit dan khalayak akan lebih mudah diterima.

Selain itu, karena budaya pop juga merupakan budaya yang dominan, tentunya akan lebih mudah bagi politisi untuk mendapatkan basis dukungan mayoritas masyarakat lewat instrumen pop culture.

Sebab itu kampanye politik akan terasa bagaikan sayur tanpa garam jika tidak ada pentas dangdutan setelah orasi. Keterlibatan para selebritis juga merupakan salah satu siasat untuk menarik pemilih, karena tingkah laku selebritis biasanya kerap menjadi panutan dan perhatian khalayak.

Memberdayakan Budaya Populer

Banyak keuntungan yang akan diperoleh oleh politisi dan partai politik apabila berhasil memanfaatkan budaya pop sebagai materi kampanye. Politisi yang sejalan dengan tren terkini akan lebih mudah diingat dalam pikiran konstituen.

Ridwan Kamil adalah salah satu contoh politgram (politisi Instagram) paling berhasil di Indonesia. Postingan selalu mendapat perhatian berupa likes dan komentar dari warganet karena Gubernur Jawa Barat ini kerap menggunakan tema tentang kegalauan, kejombloan, dan kisah romantisme bersama sang istri yang dia panggil dengan Bu Cinta. Aktivitas Ridwan Kamil di Instagram mengena bagi para pemilih muda dan mengesankannya sebagai politisi yang dekat dengan generasi millennial.

Kemenangan Jokowi pada Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu juga tak lepas dari pengaruh budaya pop. Lewat kampanye video parodi yang dikreasikan oleh Cameo Project dengan menggunakan lagu boyband Inggris One Direction yang terkenal saat itu, mayoritas pemilih pemula dan pemilih muda memilih Jokowi. Pada akhirnya mereka juga menjadi bagian yang signifikan dari barisan relawan yang mendukung Jokowi pada Pilpres 2014.

Merupakan keharusan bagi tim kampanye pemenangan pemilu untuk mengadopsi tren terbaru dari pop culture. Salah satu manfaatnya adalah agar bisa menarik suara bagi para pemilih generasi muda seperti millennial dan Generasi Z yang menjadi pemilih pemula yang identik sebagai konsumen budaya populer. Dua generasi ini memiliki persentasi lebih dari 50% dari jumlah total pemilih pada Pemilu 2019 nanti.

Penggunaan budaya populer sebagai materi kampanye juga terhitung cukup murah dan efektif, karena penyebarannya saat ini lebih banyak dilakukan di jejaring media sosial ketimbang beriklan di televisi dan koran yang harga beriklannya sangat mahal. Memes merupakan salah satu bentuk pemanfaatan budaya pop untuk materi kampanye yang murah dengan konten receh, dan tidak memerlukan effort besar untuk menciptakannya.

 

Diterbitkan oleh Elle Zahra

Graduated from Communication Science of University of Indonesia, both in bachelor and master degree. Media observer and media literacy activist. Concern in digital society related to political communication, feminism, and culture issues.

Satu pendapat untuk “Mempolitisir Budaya Populer

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: