Kata “Pelakor” mendadak jadi trending topic selama seminggu terakhir ini di Google Trends. Jagat cuitan Twitter pun turut ramai dengan isu perselingkuhan. Pasalnya, sebuah akun media sosial mengunggah postingan tentang asumsi perselingkuhan suami saudarinya dengan seorang figur publik di dunia hiburan.
Unggahan ini kemudian berkembang menjadi spekulasi tentang sosok di balik figur publik yang melakukan perselingkuhan ini. Netizen +62 ‘murka’ luar biasa, sebab selama ini sang figur merupakan sosok yang kerap mengampanyekan isu-isu feminisme seperti body positivity dan women empowerment, hingga concern terhadap pelestarian budaya.
Hingga saat artikel ini ditulis, tidak ada satu pun pencarian berita di sejumlah portal online yang telah menampilkan tanggapan maupun klarifikasi dari kedua belah pihak, baik pihak yang menuduh adanya perselingkuhan maupun pihak yang dituduh berselingkuh. Semua penulisan berita di beragam portal berita menampilkan paragraf cerita yang senada dan seragam, yakni mengangkat apa yang menjadi pembicaraan warganet di media sosial Twitter.
Kini ‘pengadilan’ warganet telah berjalan. Cuitan-cuitan di Twitter telah ramai menghakimi dan melabeli sang figur publik sebagai seorang munafik yang merebut suami orang lain, paradoks dengan klaimnya sebagai aktivis perempuan. Komentar-komentar netizen pada akhirnya mengarah pada body shamming hingga upaya doxing sang figur publik. Bahkan telah ada upaya untuk melakukan cancel culture.
Padahal kebenaran cerita itu MASIH BELUM TERKONFIRMASI oleh kedua belah pihak!
Media dan Sensasionalitas Media Sosial yang Viral
Seks merupakan salah satu nilai berita terbesar yang dapat mendongkrak atensi audiens untuk terus mengonsumsi berita, dan sepatutnya hanya berada dalam ranah privat. Namun ketika seorang figur publik melakukan skandal seks dan terekspos oleh media massa, peristiwa itu menjadi konsumsi publik yang selalu dibumbui drama dan konflik (yang semakin meningkatkan nilai berita peristiwa tersebut).
Nilai berita suatu skandal seks menjadi semakin fantastis ketika menjadi obrolan di jagat virtual. Melalui sifatnya yang berjejaring sehingga memungkinkan jangkauan obrolan ke beragam pengguna di berbagai tempat, skandal tersebut akan semakin banyak dibicarakan publik hingga menjadi viral. Telah menjadi ‘prinsip’ kekinian jurnalistik di era digital, apa yang viral di media sosial, berarti memiliki nilai berita yang besar karena menarik perhatian khalayak.
Prinsip jurnalistik yang seharusnya diterapkan pertama-tama adalah, berita ditulis secara berimbang dengan menampilkan semua pihak yang terlibat dalam porsi yang patut dan adil. Sayangnya prinsip itu telah lama diabaikan oleh jurnalis media hari ini, terutama setelah berkembangnya media sosial yang memungkinkan para pengguna untuk menjadi citizen journalist dengan cara mereka sendiri.
Bisa disebutkan, kebanyakan para jurnalis di era digital menjadi profesional yang menunjukkan kemalasan, khususnya jurnalis media online. Sebab kini ‘sumber’ berita dengan mudah didapatkan dari sekedar cuitan di media sosial yang menjadi trending topic. Tak perlu lah terlalu repot melakukan wawancara dengan pihak-pihak terkait untuk memenuhi prinsip cover both sides.
Jika itu sudah diyakini oleh warganet, maka itu pastilah kebenaran cerita. Media hanya perlu mengulang dengan menambahkan kata, frasa, dan kalimat yang bombastis agar berita tersebut terasa lebih emosional. Jurnalis tak lagi repot-repot menyampaikan kebenaran sebuah berita pada audiens, karena ‘kebenaran’ telah tersedia dalam percakapan para pengguna media sosial.
Terkait dengan skandal seks yang melibatkan figur publik dari industri dunia hiburan, kiranya lebih menarik mengutip cuitan penghakiman para netizen dibanding mengonfirmasi pada ‘korban’ dan ‘pelaku’ perselingkuhan.
Narasi Skandal Perselingkuhan yang Misoginis dan Seksis
It takes two to tango. So is having a love affair!
Narasi perselingkuhan yang kerap menjadi pembicaraan khalayak selalu berpusat pada perempuan sebagai biang keladi terjadinya perselingkuhan. Entah perempuan tersebut diposisikan sebagai perusak komitmen, atau menjadi perempuan yang pantas dipersalahkan sehingga mengakibatkan terjadinya perselingkuhan.
Padahal perselingkuhan tak mungkin terjadi jika tak ada andil dan persetujuan laki-laki dałam hal itu. Perselingkuhan jelas merupakan sebuah aktivitas yang dilakukan secara sadar dan terencana oleh kedua belah pihak. Jika hanya salah satu pihak yang berencana, aktivitas itu disebut solo dan/atau masturbasi (apabila melibatkan aktivitas seksual).
Wacana perselingkuhan yang hanya menitikberatkan pada kesalahan perempuan, adalah sebuah wacana yang seksis dan misoginis untuk memarjinalkan citra perempuan. Hanya perempuan yang patut dipersalahkan jika terjadi perselingkuhan. Perempuan dipersepsikan sebagai individu yang jahat.
Adapun laki-laki tak tersentuh dałam persepsi publik sebagai individu yang jahat. Sebab dalam sebuah sistem masyarakat yang patriarkis, laki-laki dianggap wajar jika mudah terpengaruh dan tergoda oleh perempuan lain. Laki-laki memang memiliki jiwa liar untuk ‘menaklukkan’ banyak perempuan. Demi menjaga dan meredam sifat liar lelaki, perempuan lah yang harus menahan diri agar jangan sampai membuat laki-laki tergoda.
Dalam tradisi masyarakat yang patriarkis, perselingkuhan selalu disebabkan oleh perempuan yang memiliki sifat nakal sebagai penggoda. Tidak ada laki-laki yang salah dalam perselingkuhan, sebab pria hanya tergoda oleh perempuan.
Betapa lemahnya lelaki yang tak mampu mengontrol hasrat dan godaannya!
Pesan Untuk Netizen +62
Sesungguhnya perselingkuhan itu adalah urusan ranjang, dan urusan ranjang adalah persoalan pribadi yang tidak pantas untuk dibicarakan dalam ruang publik. Tidak ada urusan orang lain untuk ikut mengomentari, atau mencampuri persoalan rumah orang lain. Sekalipun itu disebut sebagai alasan untuk pembelajaran untuk mampu menjaga komitmen.
Urus saja masalah dan kehidupan pribadimu. Coba ingat, apakah masih ada tagihan yang belum lunas? Apakah mimpimu sudah tercapai? Apakah tugas kuliah sudah dikerjakan? Apakah genteng rumah sudah diperbaiki? Apakah handphone ketinggalan di rumah? Apakah anak sudah diberikan susu? Apakah tadı sudah minum obat? Apakah hari ini dagangan ada yang beli? Apakah besok bisa bertemu dosen untuk bimbingan skripsi? Apakah jemuran sudah diangkat? Apakah bos tidak puas dengan presentasi pada meeting tadi? Apakah besok bumi masih berputar? Apakah besok akan terjadi banjir karena hujan yang terus-menerus sepanjang minggu ini? Apakah besok Elon Musk akan datang ke Indonesia? Apakah besok alien akan menginvasi bumi? Apakah besok kita bisa punya rumah di bulan? Apakah nanti matahari akan meledak dan bumi akan dilanda zaman es? Apakah mungkin kita bisa menemukan air di Mars?
See? Begitu banyak persoalan hidup sendiri yang belum selesai. Lalu mengapa mengurus urusan pribadi orang lain?