1 Juni…
Tanggal ini diperingati sebagai hari lahir Pancasila di Indonesia. Meski sejarah telah mencatat Pancasila pertama kali digaungkan oleh Soekarno sejak tahun 1945 sebelum deklarasi kemerdekaan di bulan Agustus, baru lewat Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo-lah 1 Juni dirayakan secara nasional . Setelah penetapan keppres ini pula, 1 Juni menjadi hari libur nasional.
Sebagai dasar negara, Pancasila memiliki peran krusial dalam menjalankan tata negara sekaligus sebagai acuan berperilaku warga negara. Namun perkembangan teknologi digital telah mengubah hampir seluruh lini kehidupan manusia, termasuk dalam memenuhi kebutuhan harian hingga berpolitik.
Hari ini kita telah berada dalam Era Masyarakat 5.0, sebuah kondisi yang mengintegralkan kehidupan manusia dalam segala sesuatu yang serba digital: Internet of Things (IoT), artificial intelligence (AI/kecerdasan buatan), hingga big data.
Maka muncul pertanyaan, masih relevankah sila-sila Pancasila diterapkan di Era 5.0? Di mana pada hari ini kiblat kebanyakan para pengguna media digital adalah viralnya sebuah konten, engagement, dan penyebaran informasi yang disinformasi.
Tampaknya beginilah perwujudan ke-lima sila tersebut di ruang virtual.
Ketuhanan yang Maha Esa: Ketika Netizen Bertindak Sebagai Tuhan
Dalam istilah kepercayaan beragama, golongan umat beragama terbagi menjadi golongan berikut: yang beragama dan mempercayai Tuhan (theis), tidak percaya pada Tuhan dan tidak beragama (atheis), dan tidak beragama namun meyakini adanya Tuhan (agnostik).
Pada Era Masyarakat 5.0 yang didominasi oleh penyebaran ujaran kebencian (hate speech) dengan penyertaan dalil-dalil agama, netizen Indonesia kiranya dapat dikelompokkan ke dalam golongan orang yang beragama namun tidak bertuhan, sebab warganet-lah yang bertindak sebagai Tuhan dalam menghakimi ummat di jagat virtual.
Penggunaan fitur-fitur teknologi dan aplikasi digital semakin memudahkan para pemuka agama menyebarkan dakwah, termasuk konten dakwah yang mengutuk seseorang yang lain menjadi kafir. Selain itu, ketika muncul opini-opini berbeda di media sosial yang terkait dengan penafsiran dalil ajaran agama, sejumlah netizen kerap melabeli netizen lain yang tak sepaham dengan menggunakan kata-kata seperti munafik, syiah, liberal, hingga komunis.
Jika seorang netizen bertuhan, tidak akan segampang itu mereka mengafirkan manusia lainnya, apalagi mereka yang seagama. Dalam ajaran Islam, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seorang laki-laki mengufurkan saudara-saudara yang muslim, maka kekufuran itu kembali kepada salah seorangnya.” (HR Muslim).
Siapakah netizen yang berhak mengafirkan dan memastikan seseorang masuk neraka? Apakah netizen kini adalah Tuhan sehingga bisa memutuskan seseorang menjadi kafir dan masuk neraka?
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab: Kebengisan Netizen +62 yang “Nggak Ada Obatnya“
Pada Februari 2021 silam, Microsoft merilis Digital Civility Index yang menempatkan Indonesia di urutan ke-3 di dunia sebagai negara dengan netizen paling tidak beradab. Rilis ini menyebabkan Microsoft harus menutup kolom komentar di akun Instagramnya akibat serangan bertubi-tubi dari warganet Indonesia.
Melihat bagaimana perlakuan warganet Indonesia di dunia maya, tak usah tanyakan lagi sudah berapa juta pemilik akun media sosial yang bertumbangan akibat jempol-jempol Netizen +62 dalam bentuk komentar body shamming, penghinaan, hingga ancaman pembunuhan.
Warganet Indonesia merupakan perwujudan sempurna dari yang disebutkan oleh Jaron Lanier dalam bukunya Ten Arguments for Deleting Your Social Media Accounts Right Now (2020), yakni para pengguna media sosial yang telah berubah menjadi bajingan sebab mengalami candu untuk menciptakan pertengkaran dan kehebohan di ruang virtual.
Teknologi digital menyebabkan warganet menjadi angkuh dan serasa berdaya untuk merusak presentasi dan citra seseorang di ruang virtual. Sebab warganet merasa bahagia ketika bisa menimbulkan rasa penderitaan kepada pengguna internet lainnya agar menjadi social media nobody.
Persatuan Indonesia: Paham yang Membutakan dan Memutus Relasi Sosial
Pemilu mendatang memang tak akan lagi menampilkan Joko Widodo yang head-to-head dengan Prabowo Subianto, sebab Joko Widodo sudah terpilih sebagai presiden selama dua periode. Konstitusi negara pun mengharamkan seseorang untuk kembali menjadi presiden lebih dari dua periode.
Namun pada masa Pemilu 2014 dan 2019 ketika keduanya masih saling berhadapan memperebutkan kursi kepemimpinan RI 1, aktivitas media sosial dipenuhi oleh peperangan yang menyebabkan munculnya dikotomi-dikotomi yang menggolongkan seseorang ke dalam kubu tertentu: Cebong vs Kampret, agamis-nasionalis, tentara vs sipil, antek asing vs pribumi, dan lainnya.
Pilkada DKI Jakarta 2017 semakin meretakkan persatuan dan menguatkan dikotomi-dikotomi ini ketika salah satu kandidat gubernurnya merupakan keturunan etnis Cina dan beragama Kristen. Pesan-pesan yang dikirimkan lewat media sosial WhatsApp dan status-status media sosial mengandung sentimen rasisme. Bahkan muncul teori konspirasi mengenai masuknya warga negara Cina ke Indonesia untuk menguasai perekonomian nusantara.
Sentimen rasisme atau ideologi yang ekstrem memang bukan fenomena sosial baru. Namun kehadiran media sosial semakin menguatkan paham ini, terutama konten-konten bernuansa rasis ini bisa diproduksi dan disebarluaskan siapa saja tanpa harus melewati gatekeeper yang menyaring konten disinformasi.
Akibatnya semakin mudahnya terpapar konten-konten hoax dengan sentimen rasisme ataupun paham ideologi dan ekstremisme ajaran agama tertentu, semakin merenggangkan persatuan masyarakat Indonesia yang dibangun atas dasar keberagaman.
Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan: Kepemimpinan oleh Influencer dan Selebgram Dengan Jutaan Pengikut
Adanya keberlimpahan informasi di era digital terbukti tidak membuat banyak orang semakin melek informasi. Sebaliknya, para pengguna internet justru semakin rentan mengalami misinformasi dan disinformasi yang mengabaikan fakta dan metode ilmiah.
Kepercayaan terhadap pakar yang menguasai bidangnya telah hilang, berganti dengan kepercayaan terhadap kenalan yang menyebarkan teori konspirasi lewat pesan di grup WhatsApp dan juga selebgram atau influencer yang membuat konten tanpa rujukan ilmiah di channel YouTube atau kanal media sosial lainnya (Tom Nichols, The Death of Expertise, 2017).
Begitu mudahnya mempercayai informasi dari media sosial hanya karena akun tersebut memiliki jutaan pengikut, atau mungkin muncul rasa percaya kepada seseorang yang kita tahu memiliki reputasi baik dan terhormat di kalangan masyarakat secara offline. Kepercayaan ini semakin menguat jika ternyata figur tersebut juga populer. Dengan demikian kebanyakan netizen merasa tak perlu lagi melakukan pengecekan ulang fakta atas informasi yang disebarluaskan oleh kalangan seperti itu.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia: Ketimpangan yang Semakin Nyata di Ruang Virtual
Internet sejatinya menjadi sebuah ruang yang menawarkan kesetaraan dan kesempatan yang sama bagi semua kalangan tanpa memandang ideologi, gender, preferensi seksual, agama, dan ragam perbedaan lainnya. Semua pengguna internet berhak untuk menyatakan pendapat dan berekspresi di ruang virtual.
Sayangnya internet malah menjadi perpanjangan tangan dari kondisi di dunia nyata. Internet tak menjadi ruang aman bagi kaum minoritas, terutama perempuan, untuk berekspresi di ruang digital (Penny, 2013). Para perempuan masih kerap mengalami diskriminasi, pelecehan hingga ancaman kekerasan seksual. Menurut Catatan Akhir Tahun yang dirilis oleh Komnas Perempuan, jumlah kekerasan online terhadap perempuan bahkan selalu bertambah sejak tahun 2019 (241 kasus), 2020 (940 kasus), dan 2021 (1.721 kasus).
Bukan hanya tidak ramah kepada perempuan, internet pun berubah menjadi ruang berbahaya bagi mereka yang vokal menyuarakan aspirasi politik. Opsi mereka hanya dua: diserang buzzer pendukung rezim, atau ditangkap polisi siber dengan dalih pelanggaran UU ITE.
Dua opsi ini mematikan keberanian untuk berpendapat, sebab mereka yang menyuarakan opini berbeda juga kerap mengalami doxing, yaitu pengungkapan data pribadi dan informasi personal yang sengaja dibocorkan di dunia maya (SAFEnet Research, 2021).
Menjadi Netizen yang Pancasilais
Teknologi informasi telah meleburkan batas-batas negara dan ideologi. Pancasila saat ini tak bisa hanya dimaknai sebagai Pancasila yang dicetuskan oleh Soekarno pada konteks sebelum kemerdekaan Indonesia, “propaganda Orde Baru” yang diterapkan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), atau Pancasila dengan euforia Reformasi.
Kemunculan global village akibat pengaruh teknologi seperti yang dicetuskan oleh Marshall McLuhan (1964) sekaligus memunculkan sebuah ideologi baru yang disepakati secara global: humanity (kemanusiaan).
Pada prinsipnya, semua yang tercetus dalam lima sila ideologi kita telah berdasarkan pada ideologi global kemanusiaan. Yang diperlukan saat ini adalah menguatkan literasi media digital agar warganet Indonesia semakin memiliki kepekaan terhadap akses informasi yang menguatkan rasa humanis mereka. Baru dengan demikian, Pancasila dapat dihayati dan diamalkan dengan baik.