Cegah Anak Dari Radikalisme

Selama bulan Mei dalam sepekan, tujuh kejadian terkait terorisme mengguncang republik ini. Yang paling mengejutkan, peristiwa pengeboman di Surabaya pada Minggu (13/5) dan Senin (14/5) melibatkan peran serta satu unit keluarga, termasuk menjadikan anak-anak (yang dapat dikategorikan di bawah umur) sebagai bagian dari aksi pengeboman tersebut.

Mungkinkah pemikiran anak-anak yang masih berusia sangat muda tersebut sudah diinfiltrasi oleh paham radikal? Adakah peran orang tua yang secara langsung malah aktif menyuntikkan konsep-konsep jihad radikal pada anak? Bisakah sang anak di usia yang masih begitu belia tersebut menerima ‘pengajaran’ untuk meledakkan dirinya sendiri dengan bom?

Kaum Muda dan Radikalisme

Masa kanak-kanak dan remaja merupakan masa yang penuh dengan kerentanan dan resiko, karena pada tahap ini manusia mempelajari kondisi lingkungan sosial sekaligus pendefinisian dirinya. Maka dari itu, lingkungan sosial tempat anak tumbuh dan dibesarkan berkontribusi besar bagi pembentukan pola pikir dan penetapan jati diri.

Kehadiran dunia maya, utamanya media sosial seperti Facebook, Twitter, dan YouTube, akan semakin banyak mempengaruhi persepsi kaum muda. Apalagi jika mereka merupakan audiens aktif dengan tingkat paparan media yang tinggi, maka realitas yang mereka yakini sebagai kebenaran adalah seperti apa yang mereka saksikan di media sosial.

Pakar psikologi forensik Reza Indragiri pada wawancaranya di stasiun televisi CNN Indonesia pada Senin (14/5) malam lalu mengatakan, anak pada dasarnya mudah mengikuti apa saja yang diajarkan padanya. Jika anak kerap mengikuti konten-konten terkait paham radikal yang mudah dia dapatkan di media sosial, dengan serta merta anak akan langsung meradikalisasi dirinya sendiri.

Sejak awal penelitian yang diprakarsai oleh The Payne Fund Studies di Amerika Serikat pada tahun 1930an hingga era digital saat ini menunjukkan, anak-anak (yang menjadi objek penelitian) memang sangat mudah terpengaruh oleh konten media yang mengandung unsur kekerasan.

Ditambah lagi ketika konten-konten tersebut kerap disusupi pesan radikal yang mengandung ujaran kebencian terhadap agama, ideologi, dan ras tertentu. Tanpa disadari, si anak telah terpapar pesan-pesan radikalisme yang akhirnya membentuk kepribadiannya.

Kenali Persoalannya

Kaum muda (termasuk anak-anak) jaman now tak dapat dipisahkan dari perangkat teknologi informasi, utamanya telepon pintar dan penggunaan media sosial. Padahal media sosial hari ini menjadi medium perekrutan dan penyebaran paham radikal oleh organisasi teroris.

Riset dari Universitas Oxford pada 2015 mengkonfirmasi, penggunaan media sosial adalah aktivitas utama bagi kaum muda, terutama bagi mereka dengan rentang usia 16-24 tahun. Kebiasaan ini diketahui dan dimanfaatkan dengan baik oleh organisasi teroris seperti ISIS untuk melakukan perekrutan. Facebook, Twitter, dan YouTube adalah medium yang paling sering dipakai untuk perekrutan dan penyebaran paham radikal.

Pesan yang telah disusupi paham radikal tersebut mengena pada pola pikir dan keseharian kaum muda sehingga mereka merasa tertarik dan terpersuasi dengan isi pesan tersebut. Dengan demikian, mereka berkehendak dengan sukarela mengikuti paham radikal tersebut.

Namun apa yang menyebabkan mereka mengamini pesan radikal tersebut?

Laporan dari Parliamentary Assembly Council of Europe pada 2016 silam mengungkapkan, kecenderungan utama yang menyebabkan anak-anak dan kaum muda mudah disusupi pesan radikal adalah karena adanya diskriminasi sosial yang mereka rasakan dalam lingkungan masyarakat.

Perlakuan berbeda yang dirasakan oleh anak akan cenderung membuatnya membenci keadaan dan orang-orang yang memperlakukannya secara berbeda. Ketika merasa diperlakukan berbeda, anak akan cenderung mencari cara atau komunitas tertentu yang membuatnya bisa diterima, di mana dia bisa berkontribusi dalam komunitas tersebut tanpa memandang latar belakangnya.

Dari kondisi seperti inilah pesan-pesan radikalisme dapat dimasukkan secara mudah pada anak. Apalagi internet dan media sosial merupakan salah satu medium pelepasan emosi. Begitu anak mencuit kemarahannya terhadap diskriminasi masyarakat di Twitter, ataupun meng-update kegundahannya di Facebook, perasaan si anak sudah diketahui oleh semua orang di jagad dunia maya, termasuk para perekrut teroris. Cukup dengan menyisipkan satu-dua pesan ujaran kebencian terhadap masyarakat di akun media sosial, anak-anak akan terikut dengan ajakan dan hasutan pesan radikal tersebut.

Lakukan Pencegahan

Penelitian psikologi perkembangan anak dari Swiss Jean Piaget mengungkapkan, proses pengolahan informasi pada anak baru mengalami kematangan hingga usia 12 tahun. Hingga usia itu, anak membutuhkan orang tua yang mengajarkan benar dan salah, serta memfilter informasi bagi anak.

Berkembang pesatnya teknologi informasi pada masa ini justru membuat sebagian orang tua ketinggalan dari anak-anaknya. Maka dari itu, orang tua diharapkan untuk mengerti tentang cara penggunaan teknologi informasi agar dapat memantau aktivitas penggunaan media anak.

Beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua agar anak terhindar dari bahaya konten radikal antara lain sebagai berikut (W. James Potter, 2013):

  1. Lakukan pendampingan

Di usia enam bulan, anak bahkan sudah mulai bisa menonton televisi. Pendampingan orang tua sangat diperlukan dalam segala aktivitas konsumsi anak, baik itu ketika anak menonton tayangan televisi, ataupun anak mengakses internet seperti menonton video dari YouTube.

Keuntungan dari pendampingan ini adalah orang tua bisa segera mencegah dan melarang anak jika ada tayangan-tayangan yang tidak sesuai dengan kondisi usia anak. Selain itu, pendampingan juga bisa menguatkan ikatan emosional antara anak dan orang tua.

  1. Ajak anak berdiskusi tentang konten yang dibaca/tonton

Diskusi dan mengajak anak mengobrol ketika anak menonton video atau membaca sebuah buku dapat menjadi salah satu sarana untuk menyisipkan pesan-pesan moral yang baik, sekaligus untuk mengeksplor sejauh mana kemampuan berpikir anak.

  1. Tegas membuat batasan

Sebagai orang tua harus memberikan batasan pada pola konsumsi media anak. Misalnya dalam sehari hanya boleh menonton televisi paling lama 2 jam, membatasi tontonan seperti apa yang boleh diakses anak di YouTube, melarang anak bermain video game sebelum pekerjaan rumahnya selesai, dan lainnya.

Kesimpulan

Mencegah anak dari bahaya radikalisme bukanlah pekerjaan rumah yang mudah. Yang paling dibutuhkan adalah peran aktif orang tua dalam pendampingan segala aktivitas konsumsi media anak. Selain itu, kesadaran masyarakat pun perlu ditingkatkan agar lebih mempedulikan kondisi lingkungan tempat anak berada agar tidak mengikuti gerakan-gerakan radikal.

Konten-konten media yang banyak tersebar pada saat ini tidak semuanya mengandung kebenaran. Karena itu, orang tua harus belajar meliterasi dirinya terhadap informasi yang bersilewaran untuk mengasah kebijakan dalam bermedia. Dengan demikian, orang tua pun dapat mengajarkan literasi media yang benar pada anak.

Diterbitkan oleh Elle Zahra

Graduated from Communication Science of University of Indonesia, both in bachelor and master degree. Media observer and media literacy activist. Concern in digital society related to political communication, feminism, and culture issues.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: